Opini

89

Sosialisasi Pilkada dan Pendidikan Pemilih : Upaya Wujudkan Demokrasi Berkualitas

oleh : Muhamad Iqbal TM (Anggota KPU Kabupaten Lampung Timur) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, yang menandai pelaksanaan otonomi daerah secara lebih substantif. Sejak pertama kali digelar secara langsung pada tahun 2005, Pilkada telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin daerahnya. Reformasi politik ini memberikan ruang partisipasi yang lebih besar kepada rakyat, sekaligus memperkuat legitimasi pemerintahan daerah yang terpilih. Namun, partisipasi pemilih dalam Pilkada masih menjadi tantangan signifikan, terutama di daerah dengan karakteristik geografis, demografis, dan sosial budaya yang kompleks, seperti di Lampung Timur. Lampung Timur, sebagai salah satu daerah otonom di Provinsi Lampung, memiliki dinamika politik dan sosial yang unik. Wilayah ini terdiri atas masyarakat yang heterogen baik dari segi etnis maupun budaya, dengan pola penyebaran penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Sejak Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan di kabupaten ini, tingkat partisipasi pemilih menunjukkan fluktuasi yang dipengaruhi oleh berbagai factor. Dalam konteks ini, sosialisasi Pilkada memegang peran strategis untuk menjembatani kesenjangan informasi dan membangun kesadaran politik masyarakat. Sosialisasi tidak hanya berfungsi sebagai media penyampaian prosedur teknis pemilu, tetapi juga sebagai sarana edukasi politik yang dapat membentuk pemahaman masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam menentukan arah pembangunan daerah. Namun, upaya ini kerap dihadapkan pada kendala seperti minimnya literasi politik, disinformasi, serta keterbatasan sumber daya dan strategi yang adaptif terhadap karakteristik masyarakat lokal. Pilkada Langsung dan Partisipasi Pemilih Pilkada Serentak 2024 telah selesai dilaksanakan pada 27 November 2024, menandai salah satu pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Dengan melibatkan 1.553 pasangan calon kepala daerah di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, pelaksanaan pilkada ini menjadi tonggak penting dalam menentukan arah pembangunan di berbagai daerah. Tingkat partisipasi pemilih menjadi salah satu indikator utama keberhasilan pilkada. Berdasarkan data resmi, tingkat partisipasi masyarakat mencapai 68 %. Meskipun target awal KPU sebesar 82 % cukup ambisius, capaian ini menunjukkan antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka, meskipun ada berbagai tantangan seperti kelelahan politik (political fatigue) pasca-Pemilu 2024 dan dinamika sosial-politik yang berkembang. Angka ini menunjukkan adanya penurunan signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya pada tahun 2020, di mana tingkat partisipasi di Provinsi Lampung mencapai 73,71%, dan di Lampung Timur sebesar 70,22%. Penurunan tingkat partisipasi di Provinsi Lampung sebesar 8,32% dan di Lampung Timur sebesar 6,09% menjadi catatan penting dalam evaluasi pilkada. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan tersebut adalah kelelahan politik (political fatigue) setelah Pemilu 2024, serta faktor-faktor lokal yang memengaruhi minat masyarakat untuk berpartisipasi. Legitimasi politik merupakan salah satu aspek fundamental yang sering kali menjadi perhatian utama bagi penyelenggara pilkada dan masyarakat secara luas. Isu ini menjadi tanggung jawab utama bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola seluruh tahapan pelaksanaan pilkada, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir. Peningkatan tingkat partisipasi pemilih berbanding lurus dengan peningkatan legitimasi politik terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain, legitimasi terhadap kepala daerah yang terpilih akan semakin kuat apabila tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada mencapai angka yang tinggi. Sebagai contoh, apabila partisipasi pemilih melebihi 80%, maka legitimasi politik terhadap kepala daerah yang terpilih dapat dianggap optimal (Lukman Ismail dkk. 2024). Selain berperan dalam legitimasi politik, partisipasi pemilih juga menjadi indikator penting dalam evaluasi kinerja penyelenggara pilkada, terutama KPU/KPUD. Partisipasi ini tidak hanya mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi, tetapi juga menjadi ukuran kepercayaan terhadap partai politik, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, dan kredibilitas penyelenggara pilkada itu sendiri. Pilkada langsung, yang merupakan implementasi langsung dari kehendak rakyat, akan kehilangan relevansinya apabila partisipasi pemilih tidak mencapai standar minimal yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, rendahnya tingkat partisipasi dapat mengindikasikan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemilu yang berlaku atau terhadap kualitas penyelenggaraan pilkada.   Tingkat Partisipasi dan Fenomena Non Voting Menilik Perhelatan sebelumnya, pada Pilkada Lampung Timur 2015, pasangan Chusnunia Chalim dan Zaiful Bukhari memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 53,17%, mengalahkan Yusran Amirullah dan Sudarsono yang meraih 46,83%. Namun, pada Pilkada 2020, hasilnya lebih kompetitif. Pasangan Yusran Amirullah-Raden Benny Kisworo memperoleh 22,23%, Zaiful Bukhari-Sudibyo meraih 38,12%, sementara pasangan Dawam Raharjo-Azwar Hadi berhasil memenangkan pilkada dengan perolehan suara 39,65%. Meski pasangan pemenang memperoleh suara terbanyak, satu fakta yang menarik adalah jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mereka (non-voting) ternyata lebih banyak dibandingkan perolehan suara pemenang. Ini menunjukkan adanya ketidaktertarikan sebagian masyarakat terhadap proses pemilihan, yang menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan partisipasi politik di Lampung Timur. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di atas, pada Pilkada Lampung Timur tahun 2015, pasangan pemenang meraih 33,22% suara, yang setara dengan 263.926 suara dari total DPT sebesar 794.576 suara. Namun, angka non-voting pada Pilkada 2015 tercatat mencapai 36,42%, atau setara dengan 289.351 suara, yang lebih tinggi daripada perolehan suara pemenang. Fenomena ini mengindikasikan bahwa non-voting menjadi kelompok mayoritas dalam pilkada tersebut, menggambarkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Lampung Timur pada waktu itu. Pada Pilkada 2020, meskipun terjadi penurunan jumlah suara pemenang yang hanya mencapai 27,3%, suara kandidat lainnya (dua kandidat) memperoleh 41,6%, dan non-voting tercatat sebesar 29,8%. Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya masih lebih besar dibandingkan dengan suara yang diberikan kepada pemenang. Hal ini mencerminkan adanya kecenderungan ketidaktertarikan atau ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap kandidat atau proses pemilihan yang berlangsung, terutama dalam konteks banyaknya calon yang bersaing. Pada Pilkada 2024, meskipun pemenang meraih 39,22% suara, angka non-voting kembali meningkat menjadi 35,79%, yang tetap menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan jumlah suara untuk pemenang, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tetap signifikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa partisipasi politik yang rendah dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu atau kandidat tetap menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi. Secara keseluruhan, data ini mengungkapkan tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu dan kepala daerah terpilih, terkait dengan legitimasi yang rendah akibat rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Meskipun ada pemenang yang jelas, rendahnya tingkat partisipasi dan tingginya angka non-voting menggambarkan pentingnya upaya perbaikan dalam meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian mengenai perilaku pemilih dan fenomena non-voting atau golongan putih (golput), terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi terjadinya nonvoting. Golput merujuk pada kelompok orang yang tidak menggunakan hak pilih mereka dalam suatu pemilihan, baik mereka yang tidak terdaftar maupun yang sudah terdaftar tetapi memilih untuk tidak memberikan suara. Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap proses pemilu dan politisi yang ada. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap politisi sering kali memudar, yang berkontribusi pada keputusan untuk tidak memilih (Gesti Rahayu, Faizal, dan Santoso 2024) . Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku non-voting adalah kejenuhan terhadap pemilu. Dalam konteks ini, terlalu banyaknya jenis pemilihan, mulai dari pemilihan presiden hingga pemilihan kepala desa, dapat menyebabkan rasa jenuh di kalangan masyarakat. Kejenuhan ini dapat mengurangi minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu, yang pada gilirannya dapat meningkatkan angka golput. Penelitian menunjukkan bahwa ketika pemilih merasa terbebani oleh banyaknya pemilihan yang harus dihadapi, mereka cenderung merasa tidak termotivasi untuk memberikan suara (Wahyudy 2024). Selain itu, memudarnya harapan masyarakat terhadap pemilu juga menjadi faktor penting. Banyak pemilih merasa bahwa pemilu tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka merasa bahwa suara mereka tidak berarti. Penelitian menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa tidak ada perbedaan yang nyata antara kandidat atau partai politik, mereka cenderung memilih untuk tidak berpartisipasi (Wahyudy 2024). Hal ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada dan dapat mengarah pada pengabaian hak suara. Kurangnya pemahaman tentang sistem pemilihan umum juga berkontribusi terhadap fenomena golput. Banyak individu tidak memahami proses pemilu, termasuk cara mendaftar dan memberikan suara, yang dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi. Pendidikan pemilih yang buruk dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan angka golput. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sistem pemilu sangat penting untuk mendorong partisipasi. Sistem pemilu yang rumit dan berbelit-belit juga menjadi hambatan bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilihan. Ketika prosedur pemilu dianggap terlalu rumit, banyak pemilih yang merasa frustrasi dan akhirnya memilih untuk tidak memberikan suara.   Upaya Optimalisasi Partisipasi Pemilih Sosialisasi terkait pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lampung Timur merupakan tanggung jawab yang krusial bagi KPUD, mengingat pentingnya proses sosialisasi sebagai sarana untuk menyampaikasn informasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang signifikansi partisipasi dalam pilkada langsung. Kegiatan sosialisasi, penyuluhan, dan bimbingan teknis menjadi bagian integral dari tahap persiapan yang paling intensif dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Lampung Timur. Sosialisasi pada umumnya lebih difokuskan pada masyarakat secara luas, sedangkan penyuluhan dan bimbingan teknis lebih ditujukan kepada penyelenggara pemilu. Berdasarkan evaluasi dari pengalaman pilkada tahun 2020, KPU Kabupaten Lampung Timur telah mengimplementasikan berbagai pendekatan strategis dalam memperkuat sosialisasi untuk mendorong peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada yang akan datang. Pada tahapan Pilkada 2024, KPU Kabupaten Lampung Timur melaksanakan beberapa bentuk kegiatan sosialisasi untuk memastikan masyarakat memahami proses pemilihan dan pentingnya partisipasi mereka. Salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah penyuluhan langsung yang dilaksanakan di berbagai lokasi seperti sekolah, kantor pemerintahan, tempat ibadah, Kantor Ormas, dan desa-desa. Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban pemilih serta tata cara memilih dengan benar. Dalam penyuluhan ini, masyarakat diberi kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan penjelasan terkait proses Pilkada. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara berkala mulai beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilkada dan berlanjut hingga menjelang hari pemilihan. Selain itu, KPU juga memanfaatkan media massa cetak seperti surat kabar, brosur, dan pamflet untuk menyebarkan informasi terkait Pilkada. KPU Kabupaten Lampung Timur melaksanakan sosialisasi melalui media massa cetak dengan menerbitkan iklan sosialisasi, pengumuman, serta berita-berita yang berkaitan dengan kegiatan KPU dan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Lampung Timur. Dalam upaya ini, KPU bekerja sama dengan media massa cetak lokal untuk memastikan informasi terkait pilkada dapat tersebar luas dan diakses oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Lampung Timur. Kerja sama ini bertujuan untuk memfasilitasi distribusi informasi yang efektif, guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan pilkada dan partisipasi mereka dalam proses demokrasi tersebut. Tidak hanya media cetak, KPU Kabupaten Lampung Timur juga memanfaatkan media massa elektronik seperti radio, televisi, dan media sosial untuk menyebarluaskan informasi. Misalnya, melalui program-program yang disiarkan, masyarakat dapat mengetahui jadwal pemilihan, syarat pencalonan, serta cara memilih yang benar. KPU juga menyelenggarakan debat publik yang disiarkan secara elektronik, memberikan platform bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi langsung dari para calon. Selain itu, penggunaan platform media sosial seperti Instagram dan Facebook juga mempermudah KPU untuk menyampaikan informasi secara langsung kepada kalangan muda, yang lebih banyak mengakses informasi melalui media digital. Untuk lebih memperluas jangkauan sosialisasi, KPU Kabupaten Lampung Timur memasang alat peraga seperti baliho, spanduk, dan poster di lokasi-lokasi strategis seperti jalan utama, alun-alun, pasar, dan kantor pemerintahan. Alat peraga ini berisi informasi penting mengenai Pilkada, termasuk tanggal pemilihan, lokasi TPS, dan cara-cara memilih dengan benar. Pemasangan alat peraga ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspek estetika dan ketertiban umum agar tidak merusak pemandangan dan lingkungan sekitar. KPU memastikan bahwa alat peraga yang dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk ukuran dan lokasi yang sudah disetujui oleh pihak berwenang. Pelaksanaan sosialisasi Pilkada 2024 di Kabupaten Lampung Timur tidak hanya melibatkan KPU, tetapi juga berbagai pihak lain, seperti aparat keamanan dan tokoh masyarakat. Polisi dan TNI turut mengamankan kegiatan sosialisasi di desa-desa dan lokasi-lokasi umum, memastikan bahwa proses sosialisasi berjalan dengan aman dan tertib. Selain itu, organisasi masyarakat dan tokoh lokal berperan aktif dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, dengan pendekatan yang lebih personal dan dekat. Salah satu contoh pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilihat dalam kegiatan yang dilakukan di Desa Banarjoyo, Kecamatan Batanghari, di mana Polres Lampung Timur juga turut memberikan pengamanan untuk mendukung kelancaran acara. Secara keseluruhan, KPU Kabupaten Lampung Timur telah melaksanakan berbagai bentuk sosialisasi yang melibatkan banyak pihak dan memanfaatkan berbagai media untuk memastikan bahwa informasi terkait Pilkada dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya ini diharapkan dapat  meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024, dengan memberikan akses informasi yang mudah, jelas, dan merata.   Realitas di Lapangan Hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Lampung Timur menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam tingkat partisipasi pemilih. Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Lampung Timur tercatat sebesar 63,17%, menjadikannya sebagai salah satu daerah dengan partisipasi terendah. Namun, pada Pilkada 2020, tingkat partisipasi meningkat menjadi 70,22%, mengangkat Lampung Timur keluar dari posisi sebagai daerah dengan partisipasi terendah. Meskipun demikian, pada Pilkada 2024, tingkat partisipasi kembali mengalami penurunan menjadi 64,13%. Peningkatan dan penurunan ini mencerminkan adanya dinamika dalam upaya sosialisasi dan partisipasi pemilih, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk strategi yang diterapkan oleh penyelenggara pemilu, kesadaran politik masyarakat, serta faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi pemilih. Berdasarkan hasil Pilkada Lampung Timur 2024, terdapat 823.417 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari jumlah tersebut, sebanyak 531.228 pemilih menggunakan hak pilihnya dengan benar, menghasilkan suara sah sebesar 64,21%. Sedangkan suara yang tidak sah tercatat sebanyak 26.236 suara atau sebesar 3,19%. Angka non-voting atau golput pada Pilkada 2024 tercatat mencapai 294.703 pemilih, yang setara dengan 35,79% dari DPT. Meskipun pemenang Pilkada 2024 meraih 39,22% suara sah atau sebanyak 322.946 suara, data ini menunjukkan bahwa masih banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih untuk tidak memberikan suara yang sah. Angka nonvoting yang cukup tinggi ini bisa jadi mencerminkan ketidaksetujuan atau ketidakpercayaan terhadap calon yang ada, atau bisa juga menjadi tanda adanya apatisme terhadap proses pemilu itu sendiri.  Peningkatan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020, meskipun diikuti dengan penurunan pada Pilkada 2024, menunjukkan adanya pergeseran dalam sikap masyarakat terhadap pemilu. Pada Pilkada 2020, meskipun hasilnya tetap menunjukkan adanya ketidakpuasan, tingkat partisipasi yang meningkat dapat diartikan sebagai respon positif terhadap upaya-upaya sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, partai politik, dan berbagai organisasi masyarakat. Beberapa faktor, seperti penggunaan media sosial dan pendekatan yang lebih langsung kepada masyarakat, dapat memperkuat kesadaran politik dan mendorong mereka untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, ketidakstabilan dalam tingkat partisipasi ini juga mengindikasikan bahwa meskipun ada peningkatan, masih ada tantangan besar dalam mencapai partisipasi pemilih yang maksimal. Pada Pilkada 2024, meskipun angka partisipasi pemilih sedikit menurun, namun hal ini tetap mencerminkan bahwa sebagian besar pemilih masih menggunakan hak pilihnya dengan benar. Namun, jumlah suara yang tidak sah, yang mencapai 3,19%, dan tingginya angka non-voting menunjukkan adanya hambatan dalam proses pemilihan yang mempengaruhi keputusan pemilih. Dalam beberapa kasus, pemilih mungkin merasa tidak puas dengan pilihan calon yang ada, dan sebagai akibatnya mereka memilih untuk tidak berpartisipasi atau memberikan suara yang tidak sah sebagai bentuk protes. Fenomena ini bukanlah hal yang baru, karena ketidakpercayaan terhadap proses pemilu sering kali mendorong masyarakat untuk menarik diri dari partisipasi aktif dalam memilih. Golput atau non-voting sering kali dipandang sebagai indikator ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada, di mana sebagian pemilih merasa bahwa hasil pemilu tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu dan calon kepala daerah terpilih, yang harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Meningkatkan partisipasi pemilih bukan hanya tanggung jawab KPU, tetapi juga para pemangku kepentingan lainnya, termasuk partai politik dan masyarakat sipil, untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pemilih untuk berpartisipasi aktif dan merasa bahwa suara mereka memiliki dampak nyata. Dalam konteks ini, tantangan terbesar bagi pemimpin yang terpilih adalah mengatasi fenomena non-voting dan menciptakan kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas demokrasi di daerah tersebut. Kepala daerah yang terpilih harus mampu menunjukkan komitmen yang kuat dalam memimpin dan meyakinkan masyarakat bahwa proses pemilu adalah sarana yang efektif untuk perubahan. Mengatasi apatisme politik dan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, mulai dari pendidikan politik yang lebih baik hingga reformasi dalam sistem pemilu yang lebih transparan dan mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat.


Selengkapnya
115

Peran Penting Pemutakhiran Data Pemilih Pada Tahapan Pemilihan Umum

Pemutakhiran Data Pemilih dan Realitas Masyarakat yang Dinamis oleh : Ryantito Jefry Adhitama (Anggota KPU Kabupaten Lampung Timur) Pemutakhiran data pemilih merupakan salah satu aspek krusial dalam penyelenggaraan pemilu atau pilkada di Indonesia. Proses ini memastikan bahwa daftar pemilih yang digunakan dalam setiap tahapan pemilu atau pilkada selalu akurat, terkini, dan mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang dinamis. Dengan pemutakhiran data yang baik, penyelenggara pemilu dapat mengoptimalkan partisipasi pemilih, memastikan hak pilih setiap warga negara yang memenuhi syarat dapat digunakan dengan baik, dan menghindari terjadinya kekeliruan yang bisa merugikan pihak tertentu (Santoso, Amalia, dan Zaharah 2024). Pentingnya pemutakhiran data pemilih dapat dilihat dalam konteks Pilkada Serentak 2024. KPU telah menyiapkan berbagai langkah untuk memastikan bahwa daftar pemilih tetap up-todate, meskipun tantangan yang dihadapi dalam melakukan pemutakhiran sangat besar. Data pemilih yang lama sering kali mengandung ketidakakuratan, baik karena perubahan status kependudukan, kelahiran, kematian, maupun faktor lain yang terkait dengan pergerakan demografi masyarakat. Salah satu faktor yang membuat pemutakhiran data pemilih menjadi kompleks adalah realitas masyarakat yang sangat dinamis. Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia terus berkembang, baik karena kelahiran, migrasi, maupun perubahan status sosial ekonomi. Setiap perubahan ini membutuhkan pembaruan data yang cepat dan akurat. Misalnya, pergerakan penduduk yang terjadi akibat urbanisasi dan migrasi antar daerah menyebabkan banyak pemilih terdaftar pada alamat yang tidak lagi sesuai dengan tempat tinggal mereka. Hal ini bisa memengaruhi partisipasi pemilih, karena mereka tidak dapat menggunakan hak pilih mereka jika berada jauh dari tempat pemungutan suara (TPS) yang sesuai dengan data pemilih yang tercatat. (Kiki Mita Putri, Asrinaldi, dan Indah Adi Putri 2024). Selain itu, kondisi sosial-politik yang berkembang juga memengaruhi dinamika pemilih. Perubahan dalam kebijakan pemerintah, program pembangunan daerah, atau isu-isu nasional yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dapat mendorong perubahan dalam pemilih yang aktif atau pasif. Realitas ini menunjukkan bahwa pemutakhiran data pemilih harus lebih dari sekadar proses administratif yang rutin; ia harus melibatkan pemahaman terhadap keadaan sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Upaya untuk memperbaharui data juga harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat, agar data yang diperoleh lebih representatif dan sesuai dengan kenyataan. Proses pemutakhiran data pemilih sering kali mengalami kesulitan terkait dengan keberadaan pemilih yang tidak terdeteksi. Misalnya, mereka yang baru saja beralih status dari warga negara sementara menjadi warga negara penuh, atau pemilih muda yang baru mencapai usia 17 tahun dan belum terdaftar sebelumnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah perubahan dalam status hukum individu, seperti pencatatan identitas yang belum diperbarui, atau masalah teknis yang berkaitan dengan pencatatan dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Dalam menghadapi tantangan ini, KPU memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak, seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), pemerintah daerah, serta masyarakat itu sendiri. Pendataan ulang, verifikasi data, dan pembaruan informasi melalui berbagai saluran komunikasi harus dilaksanakan dengan seksama. Program e-Counting, penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi untuk memantau data pemilih, serta sosialisasi melalui media sosial dan kampanye publik menjadi penting untuk memastikan bahwa pemilih yang belum terdaftar dapat segera melakukannya (Kurniawati dan Mustoffa 2024). Menyadari realitas ini, KPU juga harus mempertimbangkan strategi yang lebih inovatif dalam mengatasi hambatan pemutakhiran data. Misalnya, memanfaatkan data dari pemutakhiran administrasi kependudukan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, atau melalui peningkatan akses masyarakat untuk mengupdate data diri secara online. Upaya ini diharapkan dapat mempercepat proses pemutakhiran tanpa mengurangi akurasi data yang dihasilkan. Di samping itu, penting juga untuk menanggulangi potensi kesalahan atau penyalahgunaan data dengan memperketat pengawasan, serta memastikan bahwa data pemilih yang terdaftar benar-benar mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang sedang berkembang. Ketidaksinkronan Data Kependudukan dengan Data Pemilih dan Peran DP4 dalam Pilkada 2024 Salah satu tantangan utama yang sering dihadapi dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) adalah penyusunan daftar pemilih yang masih menghadapi kendala terkait akurasi, kelengkapan, dan pembaruan data. Prinsip kelengkapan mengharuskan agar seluruh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat terakomodasi hak pilihnya. Prinsip akurasi menuntut agar jumlah dan data pemilih tersaji secara tepat dan valid. Sedangkan prinsip pembaruan mengharuskan proses pemutakhiran data pemilih mencerminkan kondisi faktual dan terkini. Oleh karena itu, pendataan daftar pemilih dalam penyelenggaraan pemilu menjadi suatu proses yang tidak sederhana (Ardhy, Situmorang, dan Irmayani 2024). Proses pendataan pemilih melibatkan alur pengolahan data yang panjang, kompleks, dan membutuhkan keterlibatan banyak aktor serta institusi yang masing-masing diatur oleh regulasi tertentu. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) di bawah Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan dalam menghasilkan data kependudukan. Data tersebut diolah menjadi Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4), yang kemudian diserahkan kepada KPU RI. Selanjutnya, KPU RI melakukan proses pengolahan data secara bertahap hingga ke tingkat KPU kabupaten/kota untuk dimutakhirkan menjadi daftar pemilih yang akurat, komprehensif, dan terkini (Kiki Mita Putri, Asrinaldi, dan Indah Adi Putri 2024). Masalah pendataan pemilih ini berakar pada tantangan dalam sistem pendataan kependudukan, yang dimulai dari pembuatan Data Konsolidasi Bersih (DKB) oleh Ditjen Dukcapil dan perangkat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) di tingkat kabupaten/kota. Beberapa kendala yang dihadapi meliputi kurang dinamisnya sistem pendataan dalam mengikuti perubahan demografi, prosedur administrasi yang panjang, serta transformasi status dan identitas kependudukan, seperti KTP elektronik yang berlaku seumur hidup. Hal ini menunjukkan perlunya sistem yang lebih adaptif untuk memastikan pendataan yang lebih efisien dan akurat (Dharma Shankar dan Chandra Mandira 2024). Salah satu inisiatif untuk mengatasi masalah ketidaksinkronan ini adalah penggunaan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4). DP4 merupakan daftar yang diterbitkan oleh Dukcapil dan berisi data penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih, yaitu warga negara Indonesia yang telah mencapai usia 17 tahun. Data ini digunakan oleh KPU sebagai referensi awal dalam menyusun daftar pemilih sementara (DPS) untuk pemilu atau pilkada. Namun, meskipun DP4 merupakan data dasar yang digunakan dalam penyusunan daftar pemilih, sering kali terdapat ketidaksesuaian antara data yang ada dalam DP4 dan data pemilih yang telah diverifikasi oleh KPU. Permasalahan data pemilih memiliki akar dalam isu pendataan kependudukan yang berawal dari proses penyusunan data konsolidasi bersih oleh Ditjen Dukcapil dan perangkatnya di tingkat kabupaten/kota. Berbagai tantangan dalam pendataan kependudukan mencakup sistem yang kurang adaptif terhadap dinamika perubahan populasi, serta prosedur administrasi yang panjang, terutama terkait pembaruan status atau karakter identitas kependudukan. Proses penyesuaian data juga memerlukan pengambilan data dari pusat sebelum dapat diakses oleh Disdukcapil daerah, yang membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk memungkinkan pembaruan data penduduk berbasis harian. Kendala-kendala ini tidak sepenuhnya terselesaikan dalam sistem pendataan kependudukan dan sering kali diteruskan dalam bentuk masalah pada DP4 yang diserahkan ke KPU. Persoalan ini menjadi salah satu penyebab utama ketidakakuratan dan ketidakvalidan daftar pemilih, seperti adanya NIK (Nomor Induk Kependudukan) ganda, data penduduk yang telah meninggal atau pindah domisili namun belum diperbarui, serta masih banyaknya warga yang belum melakukan perekaman KTP elektronik (e-KTP). Masalah klasik ini terus muncul dalam setiap pemilu, memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu, terutama akibat rendahnya tingkat perekaman KTP-el dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengurus administrasi kependudukan. Selain itu, perubahan sistem identitas kependudukan dari KTP lokal ke KTP nasional, kemudian ke e-KTP yang berlaku seumur hidup, juga menyisakan tantangan besar. Banyak NIK dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) yang belum terintegrasi sepenuhnya ke dalam sistem nasional berbasis daring, yang semakin menambah kompleksitas persoalan pendataan kependudukan dan pemilih (Ngebi 2024). Salah satu regulasi yang mengatur pengolahan DP4 adalah PKPU Nomor 17 Tahun 2020, yang memberikan panduan tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum. PKPU ini menetapkan bagaimana KPU mengelola dan memanfaatkan DP4 dalam proses pemutakhiran daftar pemilih untuk memastikan akurasi data pemilih yang digunakan dalam Pilkada dan Pemilu. Pengolahan DP4 dalam PKPU ini mencakup beberapa langkah teknis, seperti pemutakhiran data, verifikasi, dan pencocokan antara data DP4 dengan data pemilih yang ada di sistem KPU. Hal ini untuk memastikan bahwa semua warga yang terdaftar dalam DP4 yang memenuhi syarat dapat dimasukkan dalam daftar pemilih, sementara data yang sudah tidak valid atau tidak sesuai dapat dihapus atau diperbaiki. Selain pengolahan DP4, proses Coklit (Pencocokan dan Penelitian) menjadi langkah krusial dalam memastikan keakuratan data pemilih. Coklit adalah tahapan verifikasi faktual yang dilakukan di lapangan untuk memastikan bahwa data pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS) sesuai dengan kondisi nyata di masyarakat. Petugas coklit dari KPU bersama dengan perangkat daerah melakukan kunjungan rumah ke setiap rumah penduduk untuk memverifikasi data pemilih, memastikan bahwa mereka memenuhi syarat untuk memilih, serta mencatat perubahan status, seperti pemilih yang sudah meninggal, yang pindah alamat, atau yang baru mencapai usia 17 tahun. Secara spesifik, coklit merupakan upaya untuk mensinkronkan data pemilih dengan data hasil sinkronisasi antara DP4 dan data pemilih pada Pemilu 2024. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih sementara (DPS) sudah sesuai dengan data terbaru yang tersedia. Proses coklit ini memungkinkan petugas untuk mengidentifikasi dan memperbaiki data yang tidak akurat atau tidak valid, seperti pemilih yang telah meninggal, pindah tempat tinggal, atau baru saja memenuhi syarat usia untuk memilih. Meskipun coklit merupakan langkah penting dalam memverifikasi data pemilih secara faktual, pelaksanaannya di lapangan sering menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah kesulitan dalam mencapai semua rumah penduduk, terutama di daerah-daerah terpencil atau wilayah dengan akses terbatas. Selain itu, faktor kesadaran masyarakat yang rendah terhadap pentingnya verifikasi data juga menjadi hambatan, karena sebagian warga mungkin tidak menyadari bahwa mereka perlu mengkonfirmasi atau memperbaharui data mereka. Tabel di bawah ini menyajikan perbandingan antara tiga jenis data pemilih yang telah melalui berbagai tahap verifikasi dan pembaruan pada Pemilu 2024 di Kabupaten Lampung Timur, yaitu Data Pemilih Potensial Per Kecamatan (DP4), Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Proses sinkronisasi ini penting untuk memastikan akurasi data pemilih, mengingat perubahan yang terjadi dalam proses verifikasi dan pemutakhiran data. DP4 mencakup semua pemilih potensial yang tercatat dalam daftar awal, sementara DPS merupakan hasil pencocokan dan penelitian yang dilakukan oleh petugas pemutakhiran data, dan DPT adalah data pemilih yang sudah final dan resmi setelah melalui berbagai pemeriksaan lebih lanjut. Data ini memberikan gambaran mengenai dinamika perubahan jumlah pemilih dari tahap DP4 menuju DPS dan DPT, serta memperlihatkan upaya untuk memperbaiki ketepatan data pemilih dalam rangka persiapan Pemilu 2024. Berdasarkan Tabel 2.1, Berdasarkan data hasil sinkronisasi DP4, DPS, dan DPT di Kabupaten Lampung Timur Tahun 2024, terdapat perubahan yang cukup signifikan antara ketiga jenis data tersebut, baik pada pemilih laki-laki maupun perempuan. Dari total 826.523 pemilih pada DP4, jumlah pemilih laki-laki tercatat 417.247 dan pemilih perempuan 409.276. Setelah dilakukan pencocokan dan penelitian untuk menghasilkan Daftar Pemilih Sementara (DPS), jumlah pemilih turun menjadi 825.282, dengan pemilih laki-laki sebanyak 416.702 dan pemilih perempuan 408.580. Perubahan ini menunjukkan adanya pengurangan sebanyak 1.241 pemilih secara keseluruhan, yang kemungkinan disebabkan oleh perbaikan data seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat atau data yang tidak valid. Selanjutnya, dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), jumlah pemilih tercatat 823.417, dengan 415.749 pemilih laki-laki dan 407.668 pemilih perempuan, yang menunjukkan pengurangan lebih lanjut sebanyak 1.865 pemilih dibandingkan dengan DPS. Perbedaan ini menandakan adanya evaluasi lebih lanjut dan penyesuaian data berdasarkan hasil verifikasi akhir, untuk memastikan hanya pemilih yang memenuhi syarat yang tercantum dalam DPT. Secara keseluruhan, perbedaan antara DP4 dan DPT mencapai 3.106 pemilih, dengan penurunan yang lebih banyak terjadi pada pemilih laki-laki, yang berkurang sebanyak 1.498 orang, sementara pemilih perempuan berkurang sebanyak 1.608 orang. Perbandingan antara Data Pemilih Potensial Per Kecamatan (DP4) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) per-kecamatan pada Pilkada Lampung Timur 2024 memberikan gambaran yang mendalam mengenai dinamika pemilih di setiap kecamatan, serta perbedaan yang terjadi setelah proses verifikasi dan pembaruan data. Tinjauan per kecamatan menunjukkan variasi yang berbeda dalam penurunan jumlah pemilih antara DP4 dan DPT. Di beberapa kecamatan, penurunan jumlah pemilih sangat kecil, bahkan ada kecamatan seperti Sukadana yang mengalami kenaikan jumlah pemilih pada DPT dibandingkan dengan DP4. Di Sukadana, misalnya, jumlah pemilih laki-laki meningkat dari 28.559 menjadi 28.788 dan pemilih perempuan sedikit bertambah dari 27.908 menjadi 27.885, dengan total kenaikan sebesar 206 pemilih. Sebaliknya, kecamatan seperti Jabung mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari 39.783 pemilih pada DP4 menjadi 39.501 pemilih pada DPT, dengan penurunan total sebesar 282 pemilih. Beberapa kecamatan lainnya, seperti Batanghari, Way Jepara, dan Purbolinggo, menunjukkan penurunan jumlah pemilih yang cukup kecil, di mana perbedaan antara DP4 dan DPT tidak melebihi seratus pemilih. Sementara itu, kecamatan yang lebih kecil, seperti Bumi Agung dan Mataram Baru, meskipun memiliki jumlah pemilih yang lebih rendah, menunjukkan penurunan yang relatif stabil, dengan selisih jumlah pemilih yang tidak terlalu besar antara DP4 dan DPT. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa proses verifikasi dan coklit berfungsi dengan baik di beberapa kecamatan untuk menghapus pemilih yang tidak memenuhi syarat, namun di sisi lain, masih terdapat pemilih yang valid yang tercatat dalam DPT meskipun tidak ada perubahan yang signifikan pada angkaangka tersebut. Secara keseluruhan, analisis ini mencerminkan pentingnya sinkronisasi data yang dilakukan oleh KPU dan Dukcapil dalam memastikan bahwa Daftar Pemilih Tetap benarbenar mencerminkan jumlah pemilih yang sah dan memenuhi syarat di setiap kecamatan, sehingga dapat mendukung kelancaran pelaksanaan Pilkada di Lampung Timur. Selain melakukan sinkronisasi data antara DP4 dan DPT di tingkat kabupaten, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Timur juga menerima tambahan data dari KPU RI terkait DP4 yang diperbarui. DP4 tambahan ini berisi informasi mengenai pemilih yang sebelumnya tidak terdaftar atau belum tercatat dalam DP4 awal, namun kini memenuhi syarat untuk memilih setelah melalui proses pemutakhiran. Pembaruan data ini meliputi pemilih yang baru saja memenuhi kriteria usia untuk memilih, yaitu berusia 17 tahun pada saat hari pemungutan suara, serta pemilih yang sebelumnya tidak tercatat karena perubahan status kependudukan, seperti pemilih yang pindah domisili dan memenuhi ketentuan administratif lainnya. Penerimaan data DP4 tambahan dari KPU RI memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menjaga validitas dan integritas Daftar Pemilih Tetap (DPT). Data tambahan ini memungkinkan KPU Kabupaten Lampung Timur untuk memperbarui DPT dengan memasukkan pemilih yang sebelumnya belum terdata dalam DP4 awal, namun kini memenuhi persyaratan untuk diberikan hak pilih. Oleh karena itu, KPU Kabupaten Lampung Timur berupaya untuk memastikan bahwa DPT yang akan digunakan dalam Pemilu 2024 mencerminkan pemilih yang berhak memilih, baik yang telah tercatat dalam DP4 sebelumnya maupun yang baru terdata melalui pembaruan data. Proses verifikasi terhadap DP4 tambahan ini memerlukan ketelitian dan kehati-hatian, mengingat potensi perbedaan data yang muncul setelah pembaruan. Data tambahan yang diterima dari KPU RI akan melalui serangkaian pemeriksaan oleh petugas pemutakhiran data, baik secara administratif maupun faktual, untuk memastikan bahwa setiap pemilih yang dimasukkan ke dalam DPT benar-benar memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini mencakup pengecekan terhadap status kependudukan, usia, dan validitas data lainnya, guna menghindari potensi kesalahan atau penyimpangan dalam pencatatan pemilih. Tabel 2.3 berikut ini menyajikan data terkait pemilih tambahan dalam Pilkada 2024 di Kabupaten Lampung Timur. Dari data di atas, Secara umum, kecamatan dengan jumlah pemilih pindah masuk yang signifikan adalah Sukadana, yang mencatatkan 180 laki-laki dan 189 perempuan, dengan total 369 pemilih pindah masuk yang tersebar di 5 desa dan 13 TPS. Sementara itu, pemilih pindah keluar di kecamatan ini berjumlah 48 orang, yang terdiri dari 15 laki-laki dan 20 perempuan. Perpindahan pemilih yang tinggi di Sukadana dapat mencerminkan adanya pergerakan penduduk yang dinamis, yang berpotensi mempengaruhi distribusi pemilih pada Pemilu 2024. Kecamatan lain yang menunjukkan perpindahan pemilih cukup besar adalah Sekampung Udik, dengan 14 laki-laki dan 26 perempuan yang pindah masuk, serta 33 laki-laki dan 8 perempuan yang pindah keluar. Sementara itu, kecamatan Batanghari juga mencatatkan angka pemilih pindah keluar yang relatif besar, yakni 14 laki-laki dan 23 perempuan, meskipun tidak ada pemilih yang tercatat pindah masuk. Pada sisi lain, beberapa kecamatan seperti Labuhan Maringgai, Pekalongan, dan Mataram Baru menunjukkan angka perpindahan pemilih yang lebih rendah. Labuhan Maringgai tercatat hanya memiliki 2 pemilih laki-laki dan 2 pemilih perempuan yang pindah masuk, serta 24 pemilih pindah keluar. Demikian pula, Pekalongan dan Mataram Baru mencatatkan angka perpindahan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Secara keseluruhan, data ini menggambarkan adanya perbedaan signifikan dalam mobilitas pemilih antar kecamatan. Perpindahan pemilih yang terjadi di Kabupaten Lampung Timur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk mobilitas penduduk, perubahan status kependudukan, dan dinamika sosial ekonomi setempat. Proses verifikasi terhadap pemilih yang pindah masuk dan keluar ini menjadi hal yang krusial, mengingat pentingnya akurasi data pemilih dalam menjaga integritas Pemilu 2024. Verifikasi yang teliti dan hati-hati diperlukan untuk memastikan bahwa pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) benar-benar memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, serta untuk menghindari terjadinya kesalahan pencatatan yang dapat memengaruhi hasil pemilu. Validitas Data Pemilih dan Rendahnya Kesadaran Administratif Masyarakat Pemutakhiran data pemilih dilakukan oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) atau Pantarlih melalui mekanisme pencocokan dan penelitian (coklit) berbasis temuan faktual di lapangan. Meskipun demikian, data yang dihimpun oleh PPDP di lapangan memerlukan proses validasi ulang menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) sebelum dapat diunggah dan diolah dalam aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH). Kondisi ini menyoroti adanya potensi disfungsi dalam sistem pemutakhiran data pemilih, yang seharusnya berfungsi untuk memastikan akurasi dan validitas daftar pemilih (Agung, Hernawan, dan Sastrawan 2024). Salah satu akar permasalahan adalah bahwa temuan lapangan seperti data kematian, perubahan status kependudukan, atau perpindahan domisili sering kali hanya didasarkan pada observasi langsung oleh petugas, tanpa didukung dokumen resmi yang diakui oleh peraturan perundang-undangan kependudukan. Sebagai contoh, penghapusan nama individu yang telah meninggal dari daftar pemilih memerlukan dokumen resmi berupa akta kematian yang mencantumkan NIK dan NKK. Namun, akta kematian ini kerap kali tidak diurus oleh keluarga almarhum, sementara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) cenderung hanya memproses akta berdasarkan permohonan yang diajukan oleh masyarakat. Akibatnya, banyak individu yang telah meninggal tetap tercatat dalam daftar pemilih karena tidak adanya catatan kematian resmi (Ardhy, Situmorang, dan Irmayani 2024). Masalah serupa juga muncul dalam hal perubahan status kependudukan dan perpindahan domisili. Tanpa adanya pengajuan resmi oleh individu yang bersangkutan, data kependudukan tidak dapat diperbarui dalam sistem. Ketergantungan pada dokumen administratif formal, yang sering kali tidak diproses oleh masyarakat, menghambat kemampuan sistem untuk menghasilkan data pemilih yang valid dan mutakhir. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam sinkronisasi antara pengelolaan data kependudukan dan mekanisme pemutakhiran data pemilih dalam penyelenggaraan pemilu (Guanti 2024). Kelemahan sistemik dalam sinkronisasi ini juga diperparah oleh berbagai faktor administrasi yang secara langsung memengaruhi validitas data pemilih. Salah satu kendala utama adalah ketidakmampuan sistem untuk menyesuaikan perubahan data secara dinamis dengan realitas di lapangan. Misalnya, banyak warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena tidak memiliki KTP atau belum mengurus perubahan data kependudukan mereka. KTP, sebagai dokumen utama dalam proses verifikasi dan penyusunan data pemilih, sering kali menjadi penghambat, terutama bagi individu yang belum melakukan perekaman KTP elektronik atau yang tidak menyadari pentingnya dokumen tersebut dalam mendukung hak pilih mereka (Agung, Hernawan, dan Sastrawan 2024). Masalah administratif lainnya terkait dengan kurangnya akta kematian untuk warga yang telah meninggal dunia. Ketidaktersediaan dokumen ini menyebabkan nama mereka tetap tercantum dalam DPT, yang tidak hanya mengganggu akurasi data tetapi juga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan. Persoalan serupa juga terjadi dalam kasus perpindahan domisili, di mana tanpa laporan resmi dari individu yang bersangkutan, perubahan data tidak akan tercatat dalam sistem. Hal ini menjadi bukti bahwa proses pemutakhiran data pemilih sangat bergantung pada inisiatif masyarakat untuk melaporkan perubahan status mereka kepada otoritas terkait. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pemutakhiran data juga menambah kompleksitas masalah ini. Di beberapa wilayah perkotaan, seperti Jakarta, tantangan dalam mendata penghuni apartemen atau rumah susun sering kali menjadi kendala besar. Petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) mengalami kesulitan mengakses warga yang tidak berada di tempat atau sulit ditemui, sehingga menyebabkan banyak data yang tidak terbarukan hingga batas waktu yang ditentukan. Semua permasalahan ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam pengelolaan data kependudukan memiliki dampak langsung pada kualitas daftar pemilih dan, pada akhirnya, pada proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan sinkronisasi antara sistem administrasi kependudukan dan mekanisme pemutakhiran data pemilih, termasuk melalui peningkatan kesadaran masyarakat, penyederhanaan prosedur administrasi, serta penguatan kapasitas teknis dan kelembagaan dari para pemangku kepentingan. Dengan demikian, proses pemilu dapat berjalan lebih transparan, inklusif, dan akuntabel. Menuju Keakuratan dan Keterbaruan Data Pemilih Di Kabupaten Lampung Timur, tantangan dalam pemutakhiran data pemilih semakin terasa mengingat kompleksitas kondisi geografis dan sosial yang ada. Sebagai kabupaten dengan populasi yang besar dan distribusi penduduk yang tersebar di berbagai kecamatan, pengelolaan data pemilih menghadapi hambatan tambahan, seperti aksesibilitas yang terbatas di daerah-daerah terpencil dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya administrasi kependudukan. Di wilayah ini, masalah seperti ketidaktercatatan perubahan status kependudukan, perpindahan domisili, serta ketidakmampuan sebagian warga dalam mengakses layanan administrasi kependudukan turut memperburuk kualitas daftar pemilih yang dihasilkan. Harapan akan hadirnya data pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir di Lampung Timur memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap realitas sosial setempat. Di daerah-daerah dengan keterbatasan infrastruktur, seperti di beberapa kecamatan di Lampung Timur, pemutakhiran data pemilih harus melibatkan lebih banyak upaya di tingkat lokal. Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) atau Pantarlih perlu diberikan pelatihan yang memadai untuk memastikan bahwa pemutakhiran data dilaksanakan dengan cermat dan menyeluruh, terutama di wilayah yang sulit dijangkau. Selain itu, peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah, terutama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), dengan KPU kabupaten/kota sangat penting untuk memperlancar proses pemutakhiran data. Penyesuaian data kependudukan yang akurat dan mutakhir harus sejalan dengan ketepatan waktu dan sistem yang dapat mengakomodasi dinamika perpindahan penduduk. Dalam konteks Lampung Timur, banyaknya penduduk yang belum terdaftar dalam sistem administrasi kependudukan secara resmi, seperti dalam kasus KTP elektronik, menjadi faktor penghambat dalam menghasilkan daftar pemilih yang valid. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui sosialisasi yang lebih intensif tentang pentingnya administrasi kependudukan serta perlunya pengurusan dokumen penting seperti KTP, akta kematian, dan perubahan domisili akan sangat membantu. Di Lampung Timur, penguatan peran RT/RW dan pihak-pihak lokal lainnya dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat dapat mempercepat proses pemutakhiran data. Dengan demikian, data pemilih yang lebih akurat, lengkap, dan up-to-date dapat diperoleh, yang pada gilirannya akan menghasilkan pemilu yang lebih kredibel dan sah. Di samping itu, teknologi informasi dapat dimanfaatkan lebih luas di Lampung Timur untuk mempermudah pemutakhiran data pemilih. Meskipun beberapa daerah di kabupaten ini mungkin memiliki keterbatasan akses internet, penguatan sistem informasi di tingkat kecamatan dan desa dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan kelancaran dan ketepatan pemutakhiran data. Mengadopsi sistem yang berbasis teknologi akan membantu meminimalkan kesalahan manual dan mempercepat pembaruan data pemilih, serta memastikan bahwa seluruh warga negara yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilih mereka secara maksimal. Dengan semua langkah ini, harapan akan terciptanya daftar pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir di Kabupaten Lampung Timur menjadi lebih realistis. Pemutakhiran data pemilih yang efektif di daerah ini tidak hanya akan memastikan pelaksanaan pemilu yang lebih transparan dan adil, tetapi juga menjadi bukti dari keberhasilan sistem demokrasi yang inklusif, di mana setiap suara rakyat dihargai dan diakomodasi dengan baik. (Kutipan Buku “Pilkada dan Kontestasi Lokal - Potret Dinamika Sosio Politik Lampung Timur dalam Pilkada Serentak Tahun 2024)


Selengkapnya
462

Pilkada 2024 dan Dinamika Sosial Masyarakat Lampung Timur

oleh : Dedi Maryanto (Ketua KPU Kabupaten Lampung Timur) Pilkada dan Tantangan Demokrasi Lokal Setelah Reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki era baru dalam perjalanan demokrasinya. Perubahan besar terjadi pada struktur pemerintahan dan praktik politik, terutama melalui kebijakan desentralisasi. Kebijakan ini mengalihkan sebagian kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah, memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri. Tujuannya adalah menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal, lebih terbuka dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan. (Suriadi dkk. 2024). Namun, meskipun desentralisasi telah berjalan lebih dari dua dekade, tantangan besar tetap ada. Ketimpangan pembangunan antar daerah dan dominasi elit politik masih menjadi isu yang mengemuka. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun partisipasi politik meningkat, banyak masyarakat masih merasa terpinggirkan. Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), misalnya, rakyat sering kali hanya berperan sebagai penonton, sementara kepentingan elit mendominasi kontestasi politik (Mardyanto Wahyu Tryatmoko 2023). Fenomena ini mencerminkan ketegangan antara warisan politik yang sentralistik dan harapan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Desentralisasi bukan hanya soal redistribusi kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan tersebut dikelola dan diakses oleh masyarakat. Demokrasi sering kali menghadirkan kontradiksi yang menarik. Di satu sisi, ia memberikan ruang bagi kebebasan individu, mengizinkan persaingan ide, dan bahkan konflik sebagai bagian dari dinamika politik. Namun, di sisi lain, demokrasi juga mengharuskan adanya aturan yang jelas, kestabilan dalam proses pemerintahan, dan kemampuan untuk mencapai kesepakatan bersama di tengah keberagaman pendapat dan kepentingan. Dalam praktiknya, keduanya— kebebasan dan keteraturan—harus berjalan beriringan agar demokrasi dapat berjalan dengan efektif. Demokrasi menciptakan ruang bagi interaksi antara pemerintah dan masyarakat, di mana idealnya, pemerintah harus bersikap jujur dan adil dalam menjalankan kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi ketegangan antara kebebasan individu dan kebutuhan untuk menjaga keteraturan sosial. Dalam hal ini, Prabowo menekankan pentingnya pendidikan demokrasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, yang merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan kebebasan dan keteraturan dalam sistem demokrasi. (Prabowo 2023). Pilkada langsung di Indonesia, yang diperkenalkan sebagai bagian dari upaya demokratisasi pasca-reformasi, diharapkan dapat mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal. Keyakinan dasar dibalik hal ini adalah bahwa demokratisasi lokal akan berkontribusi pada kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Banyak akademisi dan politisi yang menganggap Pilkada langsung sebagai solusi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah, yang pada gilirannya dapat memperkuat legitimasi pemerintah pusat. (Manar 2018). Demokratisasi lokal memiliki peran yang sangat penting dalam membawa manfaat besar bagi masyarakat dan pemerintahan. Pertama, demokratisasi lokal menjadi sarana pendidikan politik yang lebih dekat dengan kehidupan warga. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, masyarakat memperoleh kesempatan untuk lebih memahami proses demokrasi dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.(Suriadi dkk. 2024). Hal ini tidak hanya meningkatkan kesadaran politik, tetapi juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan. Kedua, pemerintah daerah memainkan peran penting dalam mengontrol pemerintah pusat. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap kebijakan pusat, menciptakan keseimbangan kekuasaan yang lebih adil (Suriadi dkk. 2024). Hal ini memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di tingkat lokal. Ketiga, partisipasi politik di tingkat daerah sering kali lebih baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dibandingkan di tingkat nasional. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat lebih aktif di tingkat lokal, di mana mereka merasa lebih dekat dengan isu-isu yang dihadapi dan memiliki kepentingan langsung terhadapnya (Handoko dan Atmojo 2020). Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang lebih responsif dan akuntabel. Keempat, kinerja pemerintah daerah yang baik dapat memperkuat legitimasi dan kredibilitas politik pemerintah pusat. Ketika pemerintah daerah sukses dalam melaksanakan programprogramnya, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara keseluruhan(Mariana dan Husin 2017). Oleh karena itu, keberhasilan demokratisasi lokal tidak hanya berdampak pada tingkat lokal, tetapi juga pada stabilitas dan legitimasi pemerintahan nasional. Pilkada langsung sering kali dipandang sebagai cermin dari penerapan demokrasi di Indonesia. Proses pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk secara langsung menentukan pemimpin yang mereka percayai, yang pada dasarnya adalah hak dasar dalam sistem demokrasi. Dengan melibatkan rakyat dalam keputusan politik di tingkat lokal, Pilkada langsung memperkuat partisipasi masyarakat dan memberi mereka kesempatan untuk mengekspresikan kehendak mereka, sehingga memperlihatkan penerapan nilai-nilai demokratis. Pilkada langsung seolah menjadi simbol bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, bukan dari kekuasaan pusat atau elit politik semata. Dalam konteks ini, Pilkada 2024, yang merupakan bagian dari Pilkada Serentak, tidak sekadar sebuah pemilihan, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk mengubah dinamika politik dengan memberdayakan masyarakat. Sejak 2015, inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, agar mereka dapat mengambil kembali kekuasaan politik dari cengkeraman elit dan memengaruhi keputusan-keputusan politik di berbagai level pemerintahan. Pilkada langsung dengan demikian bukan hanya sekadar mekanisme politik, tetapi juga merupakan wujud nyata dari demokrasi, yang memungkinkan setiap individu untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka (Defretes dan Kleden 2023). Pilkada Serentak 2024 menandai momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, dengan sejumlah fakta menarik yang menjadikannya berbeda dari Pilkada sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Pilkada dilaksanakan hanya beberapa bulan setelah Pemilu Presiden dan Legislatif yang berlangsung pada Februari 2024, menciptakan dinamika politik yang luar biasa di tahun tersebut. Pilkada Serentak yang dilaksanakan pada 27 November 2024 ini mencakup 37 provinsi, lebih dari 500 kabupaten/kota, dan ribuan kecamatan, menjadikannya salah satu pesta demokrasi lokal terbesar di dunia. Pemilu kali ini juga ditandai dengan dominasi pemilih muda, di mana generasi milenial dan Gen Z menjadi kekuatan utama yang mempengaruhi hasil Pilkada. Untuk meraih dukungan, para kandidat harus beradaptasi dengan karakteristik pemilih muda, terutama dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana utama kampanye. Selain itu, digitalisasi dalam kampanye Pilkada 2024 semakin dominan, dengan penggunaan teknologi informasi dalam berbagai aspek, mulai dari kampanye melalui media sosial hingga pengawasan dan penghitungan suara. Teknologi ini tidak hanya membuat proses Pilkada lebih transparan dan efisien, tetapi juga mempercepat transformasi demokrasi di Indonesia. Peningkatan partisipasi perempuan dalam Pilkada 2024 juga menjadi hal yang menggembirakan, dengan banyaknya kandidat perempuan yang maju dan berkompetisi. Isu lingkungan, yang semakin menjadi perhatian global, juga diangkat oleh banyak kandidat sebagai bagian dari program kerja mereka, mencerminkan kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu keberlanjutan. Pilkada 2024 juga menunjukkan dinamika koalisi politik yang berbeda antara tingkat nasional dan daerah. Koalisi partai politik di tingkat daerah menunjukkan strategi yang lebih fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda-beda. Pengawasan terhadap jalannya Pilkada 2024 diperketat, dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencegah kecurangan dan praktik politik uang. Selain itu, Pilkada 2024 juga melibatkan semangat tinggi dari warga desa yang aktif dalam menentukan calon kepala daerah mereka, mengadakan musyawarah lokal untuk memilih pemimpin yang mereka anggap terbaik. Partisipasi ini menunjukkan kemajuan dalam inklusivitas demokrasi di daerah pedesaan. Dengan tingginya tingkat partisipasi pemilih, Pilkada 2024 mencatatkan rekor baru dalam sejarah pemilihan langsung di Indonesia. Proses pemilihan ini berhasil memperlihatkan kedewasaan demokrasi Indonesia, di mana masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut berperan aktif dalam menentukan arah pemerintahan daerah mereka, sekaligus memperkuat legitimasi dan kredibilitas pemerintahan secara keseluruhan.   Etnisitas dan Keberagamaan dalam Dinamika Sosial Politik Pilkada Seperti banyak daerah di Provinsi Lampung, Lampung Timur merupakan wilayah yang kaya akan keberagaman etnis, yang menciptakan interaksi antara penduduk asli Lampung dengan berbagai kelompok pendatang, terutama dari suku Jawa. Keberagaman ini menciptakan jalinan hubungan sosial yang erat namun juga diwarnai oleh ketegangan politik, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah dan pengaruh kekuasaan lokal. Sejarah transmigrasi yang dimulai sejak masa kolonial Belanda telah meninggalkan jejak yang sangat kuat di Lampung Timur. Proyek transmigrasi ini membawa ribuan pendatang dari Pulau Jawa untuk mengisi lahan-lahan kosong di wilayah Lampung Timur, dengan tujuan mengurangi kepadatan penduduk di Jawa. Akibatnya, etnis Jawa kini menjadi kelompok dominan di wilayah ini, dengan sebagian besar penduduknya berbahasa Jawa dan mengadopsi banyak kebiasaan serta tradisi Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun suku Lampung tetap menjadi suku asli yang mewarnai kebudayaan lokal, kehadiran suku Jawa telah memberikan dampak besar pada kehidupan sosial dan politik di daerah ini. Dinamika antara penduduk asli dan pendatang menjadi salah satu aspek utama dalam sosio-politik Lampung Timur, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah. Identitas etnis dan asal-usul sering kali dimanfaatkan sebagai strategi politik untuk meraih dukungan. Masyarakat Lampung sebagai penduduk asli, merasa perlu memperjuangkan representasi mereka, sementara pendatang—terutama dari Jawa, Bali, dan daerah lainnya—memiliki pengaruh besar karena jumlah mereka yang signifikan serta peran ekonomi yang mereka jalankan. Dalam pemilihan kepala daerah, isu ini sering dimanfaatkan para calon melalui pendekatan yang menekankan persatuan budaya, adat dan kesukuan. Kondisi ini mencerminkan tantangan besar bagi Lampung Timur untuk menciptakan keseimbangan antara penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan upaya mewujudkan integrasi yang harmonis bagi pendatang, demi menjaga stabilitas sosial dan mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan. Secara keseluruhan, Lampung Timur merupakan gambaran dari sebuah wilayah yang terus berkembang, dipenuhi dengan dinamika sosial yang kompleks. Ketegangan antara penduduk asli dan pendatang, serta pergeseran kekuasaan politik, menjadi bagian dari cerita panjang perjalanan daerah ini dalam menghadapi tantangan kebijakan transmigrasi, perkembangan otonomi daerah, dan perjuangan untuk keadilan sosial yang lebih merata. Dalam konteks Pilkada, politik identitas etnis, meskipun sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan, pada kenyataannya tidak dapat dihindari di wilayah seperti Lampung Timur, di mana keberagaman etnis menjadi kenyataan sosial yang mendalam. Isu identitas etnis sering kali menjadi daya tarik dalam kontestasi politik, terlebih ketika kelompok-kelompok tertentu merasa identitas mereka tidak terwakili atau terpinggirkan. Dalam konteks ini, calon pemimpin daerah harus menyadari bahwa keberagaman etnis tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga menjadi kenyataan yang perlu dikelola dengan hati-hati. Masyarakat asli Lampung, misalnya, mungkin merasa bahwa keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas perlu dipertahankan dan diperjuangkan dalam politik lokal, sementara pendatang yang berasal dari suku Jawa atau daerah lainnya mungkin menginginkan pengakuan atas kontribusi mereka dalam perkembangan ekonomi dan sosial daerah. Calon pemimpin yang cerdas akan melihat keberagaman ini sebagai sebuah peluang untuk membangun kebijakan yang inklusif, yang memperhatikan kebutuhan setiap kelompok tanpa mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. Namun, politik identitas ini tetap akan menjadi bagian dari dinamika pemilihan kepala daerah, yang harus dikelola dengan bijak agar tidak menimbulkan perpecahan yang lebih besar dan justru memperburuk ketegangan antar kelompok. Dalam setiap pemilihan kepala daerah langsung di Lampung Timur, sejak sistem ini diberlakukan, komposisi pasangan calon hampir selalu memperhatikan keterwakilan etnis antara suku Jawa dan Lampung. Pola ini mencerminkan upaya para kandidat untuk merangkul keberagaman etnis yang menjadi ciri khas wilayah ini. Pasangan calon dengan kombinasi "Jawa-Lampung" atau "Lampung-Jawa" sering kali dianggap sebagai strategi efektif untuk mengamankan dukungan dari kedua kelompok utama ini. Hal ini juga mencerminkan realitas bahwa baik penduduk asli Lampung maupun pendatang dari suku Jawa memiliki pengaruh besar dalam menentukan hasil pemilihan. Namun, strategi ini tidak hanya tentang mencerminkan keberagaman, tetapi juga menyiratkan adanya kepentingan politik identitas yang signifikan. Pasangan calon yang berhasil biasanya tidak hanya mengandalkan simbolisme etnis, tetapi juga harus mampu menunjukkan komitmen yang nyata terhadap kepentingan seluruh masyarakat. Pemilih semakin kritis terhadap kandidat yang hanya mengeksploitasi isu etnis tanpa memberikan solusi konkret terhadap tantangan sosial, ekonomi, dan pembangunan yang dihadapi daerah. Oleh karena itu, tantangan bagi calon pemimpin tidak hanya menciptakan keseimbangan etnis dalam tim mereka, tetapi juga memastikan bahwa keberagaman ini diterjemahkan menjadi kepemimpinan yang inklusif dan kebijakan yang adil bagi seluruh warga Lampung Timur. Identitas keagamaan dalam Pilkada juga seringkali menjadi aspek lain yang diperhatikan oleh calon kepala daerah dalam meraih dukungan pemilih. Dalam konteks kontestasi lokal, isu identitas agama, ras, atau suku bisa menjadi bagian dari strategi politik untuk membangun hubungan dengan kelompok tertentu. Penggunaan identitas ini dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan pemilih, karena banyak orang cenderung memilih calon yang dianggap mewakili latar belakang atau nilai-nilai mereka (Rosdiana dan Annis Azhar Suryaningtyas 2024). Politik identitas dalam pemilihan kepala daerah sering kali menjadi bagian dari dinamika yang tak terhindarkan, karena pada kontestasi lokal, isu-isu tersebut lebih mudah untuk diangkat. Politik identitas dapat menjadi strategi yang efektif untuk meraih dukungan secara cepat, terutama ketika calon dapat membangun kedekatan dengan kelompok pemilih tertentu. Namun, meskipun politik identitas dapat mempengaruhi hasil pemilihan, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Pemanfaatan isu primordial seperti etnis, agama, atau ideologi sering kali berpotensi menciptakan polarisasi (Oceania dkk. 2024). Isu-isu tersebut dapat memperkuat perbedaan antar kelompok jika tidak dikelola dengan bijak. Sebagai contoh, dalam Pilkada Lampung Timur pada beberapa periode terakhir, termasuk 2015, 2020, dan 2024, pasangan calon yang memenangkan kontestasi mendapat dukungan dari partai politik dengan basis massa tertentu. Pada Pilkada 2015-2020, pasangan Chusnunia Chalim dan Zaiful Bokhari mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrat. Begitu pula pada Pilkada 2020-2025, pasangan Dawam Raharjo dan Azwar Hadi meraih kemenangan dengan dukungan dari PKB. Pada Pilkada 2024, pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi juga memperoleh kemenangan dengan dukungan dari basis massa yang serupa. Pemilihan calon berdasarkan afiliasi politik atau identitas kelompok ini mencerminkan dinamika dalam kontestasi Pilkada yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada dua kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Lampung Timur, identitas keagamaan, khususnya identitas warga Nahdlatul Ulama (NU), telah digunakan sebagai salah satu strategi politik untuk meraih dukungan pemilih. Pemanfaatan identitas ini bisa memiliki sisi positif dan negatif. Di sisi positif, penggunaan identitas keagamaan dapat memperkuat rasa persatuan dan kesamaan visi di kalangan pemilih yang memiliki afiliasi serupa. Ini dapat memperkuat kedekatan antara calon dan pemilih, serta mempercepat komunikasi dalam kampanye. Selain itu, pendekatan ini bisa membantu calon dalam menciptakan citra yang lebih akrab dan relevan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh kelompok tertentu. Namun, di sisi lain, pemanfaatan identitas keagamaan juga memiliki risiko tertentu, terutama dalam konteks politik lokal yang penuh dengan kemajemukan agama, budaya, dan identitas lainnya. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hal ini berpotensi menimbulkan polarisasi yang dapat memperburuk hubungan antar kelompok. Isu identitas yang digunakan untuk menarik dukungan politik bisa memperbesar sekat antar kelompok, baik berdasarkan agama, suku, atau etnis. Meskipun pada Pilkada Lampung Timur ini ketegangan antara kelompok suku pendatang dan kelompok lainnya belum berkembang menjadi konflik fisik, perbedaan pendapat dan ekspresi verbal yang tajam sudah cukup terasa. Jika tidak ditangani dengan bijak, ketegangan ini berisiko memicu ketidakharmonisan sosial yang lebih besar (Oceania dkk. 2024). Selain itu, berlarut-larutnya politik identitas berpotensi menumbuhkan pandangan eksklusif yang dapat merusak keharmonisan sosial dan memperburuk keragaman. Dalam beberapa kasus, isu-isu identitas yang dipolitisasi dapat menciptakan fenomena post-truth, di mana informasi yang tidak terverifikasi dianggap lebih benar, sementara kebenaran yang objektif dipertanyakan. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa politik identitas, jika diterapkan secara bijaksana dan seimbang, dapat memberikan keuntungan bagi para calon dalam meraih dukungan dari basis pemilih yang besar. Namun, penting untuk memastikan bahwa proses tersebut tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Setelah Pilkada, kewajiban pemimpin terpilih untuk melakukan rekonsiliasi sangat penting untuk menjaga persatuan dan stabilitas sosial. Pemimpin harus merangkul seluruh elemen masyarakat, mengedepankan inklusivitas, dan menghormati perbedaan yang ada. Proses rekonsiliasi ini melibatkan dialog antar kelompok yang terpolarisasi serta memastikan kebijakan dan pemerintahan yang adil dan transparan, tanpa diskriminasi terhadap kelompok mana pun. Dengan demikian, pemimpin terpilih dapat menciptakan pemerintahan yang stabil, mengakomodasi keberagaman, dan mengutamakan kepentingan bersama demi kemajuan bersama masyarakat.   Pemerataan Pembangunan dan Kesejahteraan Calon kepala daerah yang berhasil mengemas isu pemerataan pembangunan dan kesejahteraan dengan baik terbukti mampu menarik simpati masyarakat Lampung Timur. Fokus pada pemerataan pembangunan menjadi sangat relevan mengingat masih adanya kesenjangan infrastruktur dan akses layanan publik antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dalam konteks ini, pemimpin yang mampu menghadirkan kebijakan konkret yang menjangkau semua lapisan masyarakat akan lebih diterima dan dipercaya. Program-program yang berorientasi pada perbaikan infrastruktur, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum, serta peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, menjadi bagian penting dari upaya mencapai pemerataan pembangunan. Selain itu, pengembangan sektor-sektor ekonomi lokal, seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata, dapat memberikan dampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat perhatian (Khalil dan Syah 2024). Ketika pemimpin daerah dapat menunjukkan komitmennya dalam mengatasi kesenjangan ini dengan program-program yang terukur dan berbasis kebutuhan masyarakat, mereka tidak hanya memenangkan dukungan, tetapi juga membangun hubungan yang lebih erat dengan warga. Dengan langkah-langkah nyata yang memperlihatkan kemajuan di berbagai sektor, masyarakat Lampung Timur merasa lebih dihargai dan diwakili dalam pembangunan daerah mereka. Pemerataan Pembangunan bukan sekadar isu politik, tetapi juga kebutuhan mendasar untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Pemimpin yang mengedepankan hal ini dalam setiap kebijakan dan programnya tidak hanya mendapatkan kepercayaan masyarakat, tetapi juga dapat mendorong Lampung Timur menuju masa depan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan. (Gambar 1 Visi Misi Calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur pada Pilkada Serentak 2024) Dalam Pilkada Lampung Timur, kedua pasangan calon kepala daerah mengemukakan berbagai janji politik yang berfokus pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi menyoroti komitmen mereka dalam memperbaiki infrastruktur dasar, seperti jalan dan jembatan, untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah. Mereka juga menjanjikan peningkatan kualitas layanan publik, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya menciptakan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat Lampung Timur. Sementara itu, pasangan Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan berencana untuk melanjutkan dan memperkuat program-program di sektor kesehatan, pendidikan, keagamaan, sosial, dan ketenagakerjaan yang telah ada. Mereka juga fokus pada pengembangan ekonomi produktif dengan mengoptimalkan potensi lokal, seperti pertanian dan perikanan, serta mendukung pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas mereka, termasuk perbaikan jalan dan fasilitas umum untuk mendukung konektivitas antarwilayah. Dengans pendekatan yang menyeluruh, Dawam dan Ketut berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program yang mencakup berbagai sektor. Secara keseluruhan, baik Ela dan Azwar maupun Dawam dan Ketut menyajikan visi yang mengarah pada pembangunan yang lebih baik untuk Lampung Timur. Keduanya berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Ela dan Azwar lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur dan layanan dasar, sedangkan Dawam dan Ketut menawarkan solusi lebih luas dengan penguatan berbagai sektor yang saling terkait. Bagi pemimpin terpilih, tiba saatnya merealisasikan janji-janji politik ini. Keberhasilan dari janji-janji ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka dalam mengimplementasikan program-program mereka secara efektif dan berkelanjutan, serta bagaimana mereka dapat menjalin kemitraan dengan masyarakat dan berbagai pihak terkait untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan merata.   Pemilih Muda di Pilkada 2024 Indonesia menghadapi periode bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2024. Fenomena ini membawa dampak signifikan terhadap dinamika politik, khususnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Bonus demografi merujuk pada kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Dengan jumlah pemilih muda yang semakin besar, Pilkada 2024 menjadi momen penting dalam memanfaatkan potensi ini untuk membentuk arah politik yang lebih inklusif dan progresif (Yuniar dan Ahsan 2024). Pemilih muda, yang sebagian besar berada dalam rentang usia 17 hingga 35 tahun, merupakan kelompok yang memiliki potensi besar untuk mempengaruhi hasil Pilkada. KPU Lampung Timur menyebut kelompok pemilih muda yaitu generasi milenial dan generasi Z mendominasi dengan jumlah 3.641.169 pemilih. Terdiri dari 2.235.583 pemilih atau 34,31% dari generasi milenial (27-42 tahun) dan 1.405.586 atau 21,57% pemilih dari generasi Z (17-26 tahun). Mereka adalah generasi yang lebih melek teknologi, terbuka pada ide-ide baru, dan lebih aktif dalam gerakan sosial serta perubahan. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses informasi yang luas melalui media sosial dan platform digital, pemilih muda dapat menjadi motor penggerak perubahan dalam proses politik. Di sisi lain, pemilih muda juga sangat memperhatikan isu-isu yang relevan dengan kehidupan mereka, seperti kesejahteraan, lapangan pekerjaan, pendidikan yang berkualitas, serta hak-hak sosial lainnya. Oleh karena itu, kandidat yang mampu memahami dan merespons kebutuhan serta aspirasi pemilih muda cenderung memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh dukungan mereka. Namun, potensi besar pemilih muda ini juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih muda. Meskipun mereka terlibat dalam diskusi politik di media sosial, banyak dari mereka yang merasa tidak terwakili atau kurang tertarik untuk datang ke TPS. Faktor apatisme, kurangnya pemahaman tentang proses politik, serta ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin atau sistem politik yang ada sering menjadi hambatan utama dalam meningkatkan partisipasi mereka. Selain itu, pemilih muda seringkali dipengaruhi oleh informasi yang tidak akurat atau berita hoaks yang beredar di media sosial. Ini dapat mempengaruhi pilihan politik mereka secara negatif, mengarah pada keputusan yang kurang rasional atau terburu-buru. Oleh karena itu, para calon pemimpin yang memiliki strategi komunikasi yang jelas, jujur, dan berbasis data, memiliki kesempatan lebih dalam meyakinkan pemilih muda dengan cara yang positif dan informatif.   Terpilihnya Sosok Pemimpin Muda Non-Jawa Pilkada 2024 di Lampung Timur menjadi momen penting yang menandai perubahan dalam dinamika politik daerah tersebut. Salah satu aspek menarik dari pemilihan ini adalah keberhasilan pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi dalam mematahkan mitos dominasi figur bupati dari suku Jawa. Sebelumnya, Lampung Timur dikenal dengan pola kepemimpinan yang didominasi oleh figur-figur asal suku Jawa, yang tercermin dalam sejarah pemilihan bupati sejak pelaksanaan pilkada langsung. Sejumlah bupati sebelumnya, seperti Satono (Pilkada 2005 dan 2010), Chusnunia Chalim (Pilkada 2015), dan Dawam Rahardjo (Pilkada 2020), mayoritas berasal dari suku Jawa. (Gambar 2, Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Waki Bupati Terpilih Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024) Kemenangan Ela dan Azwar menandakan perubahan signifikan dalam lanskap politik daerah, mencerminkan harapan masyarakat untuk menghadirkan kepemimpinan yang lebih beragam dan representatif. Kemenangan Ela, seorang putri daerah asal suku Sunda, bersama pasangannya Azwar Hadi, menandakan bahwa masyarakat Lampung Timur kini semakin terbuka dan menginginkan perubahan dalam kepemimpinan mereka. Keberhasilan pasangan ini bukan hanya berkaitan dengan latar belakang etnis, tetapi juga mencerminkan perubahan signifikan dalam preferensi pemilih, yang kini lebih mengutamakan kualitas kepemimpinan dan visi pembangunan yang lebih inklusif serta merata. Mengalahkan pasangan petahana, yang masih mempertahankan komposisi Jawa sebagai calon bupati, kemenangan Ela dan Azwar menjadi simbol upaya untuk menghapus mitos dominasi suku Jawa dan membuka peluang bagi keberagaman dalam kepemimpinan daerah. Pilkada Serentak 2024 di Lampung Timur mencerminkan perubahan signifikan dalam preferensi pemilih dan strategi kampanye politik. Ela Siti Nuryamah, yang terpilih sebagai Bupati Lampung Timur, membawa latar belakang yang menarik. Sebelum menjabat sebagai bupati, Ela adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mewakili daerah pemilihan Lampung II, termasuk Kabupaten Lampung Timur. Dalam Pilkada 2024, Ela berpasangan dengan Azwar Hadi dan berhasil mengalahkan pasangan petahana, M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan. Pasangan Ela-Azwar memperoleh suara mayoritas, yang mencerminkan harapan masyarakat Lampung Timur akan perubahan dalam kepemimpinan daerah. Pasangan calon Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi meraih kemenangan dengan perolehan suara sebesar 64,27%, mengungguli pasangan petahana M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan yang hanya memperoleh 35,73%. Kemenangan ini tidak hanya mencerminkan pergeseran dukungan masyarakat, tetapi juga menunjukkan dorongan kuat untuk perubahan dalam kepemimpinan daerah. Fenomena ini sejalan dengan teori partisipasi politik yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi sebagai indikator kesehatan politik (Defretes dan Kleden 2023; Kelibay dkk. 2022). Teori partisipasi politik menyoroti bahwa pemilu langsung memberikan mekanisme yang efektif untuk menggantikan kepemimpinan yang kurang memuaskan. Dalam konteks ini, mobilisasi pemilih yang dilakukan oleh pasangan Ela dan Azwar terbukti berhasil, terutama dalam menjangkau kelompok pemilih muda dan perempuan, yang menjadi kunci dalam menentukan hasil pemilihan. Dengan pendekatan inklusif, mereka menyoroti isu-isu lokal seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas basis dukungan, tetapi juga mempserlihatkan kemampuan mereka membaca aspirasi masyarakat (Marín, Goda, dan Pozos 2021; Silvester dkk. 2020). Dari perspektif dinamika politik, kompetisi di Lampung Timur mencerminkan pentingnya persaingan sehat dalam meningkatkan partisipasi pemilih dan akuntabilitas pemerintah. Keberhasilan Ela dan Azwar dapat dianggap sebagai respons atas kinerja pemerintahan sebelumnya yang dinilai belum memuaskan. Pemilih cenderung memberikan suara kepada kandidat yang mereka yakini mampu memenuhi harapan mereka. Dalam konteks ini, hasil Pilkada menunjukkan dorongan masyarakat untuk mencari alternatif kepemimpinan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal (Cancela dan Geys 2016). Namun, kemenangan ini membawa tantangan tersendiri. Pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi dihadapkan pada ekspektasi tinggi untuk merealisasikan janji-janji kampanye. Karakteristik pribadi kandidat, seperti kemampuan komunikasi dan keterampilan politik, memiliki pengaruh besar terhadap kepercayaan Masyarakat (Laustsen 2021. Keberlanjutan dukungan terhadap pasangan ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan menciptakan pemerintahan yang inklusif.   (Sumber : Buku Pilkada dan Kontestasi Lokal; Potret Dinamika Sosio-Politik Lampung Timur dalam Pilkada Serentak 2024)


Selengkapnya
138

Menjaring Pemimpin Otentik : Membaca Dinamika Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Derah

oleh :  Nurdin, S.H. (Anggota KPU Kabupaten Lampung Timur)   Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi salah satu momentum krusial dalam lanskap politik Indonesia. Proses ini tidak hanya berperan dalam menentukan pemimpin di tingkat daerah, tetapi juga memberikan pengaruh signifikan pada arah dan dinamika politik nasional. Di tengah persiapan partai-partai politik untuk bersaing, strategi kampanye, isu-isu utama yang diangkat, serta prediksi hasil pemilu menjadi topik yang menarik dan relevan untuk diperbincangkan.   Regulasi Pencalonan dalam Pilkada 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang pencalonan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). PKPU ini merevisi PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dan dirancang untuk menyelaraskan regulasi dengan dinamika hukum serta kebutuhan pelaksanaan Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November 2024 di 508 wilayah di Indonesia. PKPU Nomor 10 Tahun 2024 membawa perubahan penting dalam persyaratan pencalonan kepala daerah. Sebelumnya, sesuai dengan PKPU Nomor 8 Tahun 2024, partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon jika memperoleh minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD. Revisi ini mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas (threshold) pencalonan. Dalam Pasal 11 PKPU Nomor 10 Tahun 2024, ambang batas pencalonan diselaraskan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan, baik untuk partai politik maupun jalur perseorangan. Ambang batas untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur adalah 10% suara sah untuk DPT hingga 2 juta jiwa, 8,5% untuk DPT 2–6 juta jiwa, 7,5% untuk DPT 6–12 juta jiwa, dan 6,5% untuk DPT lebih dari 12 juta jiwa. Sedangkan untuk pencalonan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, ambang batasnya adalah 10% suara sah untuk DPT hingga 250 ribu jiwa, 8,5% untuk DPT 250–500 ribu jiwa, 7,5% untuk DPT 500 ribu–1 juta jiwa, dan 6,5% untuk DPT lebih dari 1 juta jiwa. Selain itu, PKPU Nomor 10 Tahun 2024 juga mengatur batas usia pencalonan. Jika sebelumnya batas usia dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, kini batas usia dihitung sejak penetapan pasangan calon. Calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia paling rendah 30 tahun, sedangkan calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus berusia paling rendah 25 tahun. Melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Timur Nomor 1222 Tahun 2024, ditetapkan persyaratan minimal suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon. Keputusan ini menggantikan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Keputusan KPU Kabupaten Lampung Timur Nomor 1213 Tahun 2024 tentang penetapan jumlah minimal perolehan kursi dan suara sah partai politik pengusung bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada serentak 2024. Dalam keputusan ini, KPU menetapkan kriteria yang lebih spesifik terkait akumulasi suara sah pada Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur 2024 serta prosedur pendaftaran pasangan calon. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam keputusan tersebut, parpol atau gabungan parpol yang ingin mendaftarkan pasangan calon pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur 2024 diwajibkan memenuhi persyaratan akumulasi suara sah yang diperoleh dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur. Persyaratan minimal ini ditetapkan sebesar 7,5% dari total jumlah suara sah yang diperoleh dalam Pemilu tersebut. Dalam hal ini, jumlah suara sah yang tercatat pada Pemilu DPRD Kabupaten Lampung Timur 2024 adalah 603.523 (enam ratus tiga ribu lima ratus dua puluh tiga) suara. Oleh karena itu, parpol atau gabungan parpol yang hendak mengajukan pasangan calon bupati dan wakil bupati harus memperoleh minimal 45.265 (empat puluh lima ribu dua ratus enam puluh lima) suara sah. Jumlah suara sah minimal ini menjadi salah satu parameter utama dalam proses verifikasi pencalonan. Selain itu, KPU juga menegaskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus melengkapi dokumen administrasi pencalonan yang mencakup dokumen kesepakatan koalisi (jika berkoalisi), daftar nama pendukung, serta pernyataan kesediaan pasangan calon untuk mengikuti Pilkada. Tahapan verifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh pasangan calon yang diajukan telah memenuhi kriteria yang ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.   Dinamika Pendaftaran Paslon pada Pilkada Lampung Timur Tahun 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Timur mengacu pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 dalam proses penerimaan pendaftaran pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati. Berdasarkan PKPU tersebut, jadwal pendaftaran ditetapkan pada 27 hingga 29 Agustus 2024. Pendaftaran dilakukan melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon), sebuah platform digital yang disediakan oleh KPU untuk mempermudah proses pengunggahan dokumen administrasi yang diperlukan, seperti dokumen pribadi calon dan dokumen pengusungan oleh partai politik. Jadwal pendaftaran dan penetapan pasangan calon kepala daerah adalah bagian dari mekanisme teknis yang juga diatur dalam regulasi Pilkada 2024. Selama periode ini, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon yang mereka usung dengan memenuhi seluruh persyaratan administratif, mulai dari syarat dukungan suara hingga kelengkapan dokumen.  Namun, pada hari terakhir pendaftaran, 29 Agustus 2024, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, yakni pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi. Ela adalah Anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari PKB, dan Azwar adalah petahana Wakil Bupati Lampung Timur. Mereka diusung 8 partai parlemen yakni PKB, Gerindra, Nasdem, PDIP, PKS, Demokrat, PAN dan PPP serta satu partai non parlemen yakni PPP. Sesuai dengan ketentuan dalam PKPU Pasal 135, apabila hingga akhir masa pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, KPU dapat memperpanjang masa pendaftaran. Oleh karena itu, melalui Keputusan KPU Lampung Timur Nomor 1225 Tahun 2024 Tentang Jadwal Dan Tahapan Perpanjangan Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Bupati Dan Wakil Bupati Lampung Timur Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024, KPU memperpanjang masa pendaftaran dari 2 hingga 4 September 2024, dengan ketentuan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang belum mendaftar, serta pasangan calon perseorangan yang memenuhi persyaratan, dapat mengajukan pendaftaran pada periode tersebut.  Pada masa perpanjangan pendaftaran, KPU Kabupaten Lampung Timur menerima sebanyak satu dokumen pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur. Pasangan calon tersebut adalah M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan yang diusulkan oleh PDIP, yang memiliki perolehan suara sah pada Pemilu 2024 sebanyak 93.926 suara. Dokumen pendaftaran tersebut diterima oleh KPU pada 4 September 2024, pukul 19.30 WIB. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran persyaratan pencalonan serta persyaratan calon, dokumen pendaftaran pasangan calon tersebut dinyatakan tidak tidak lengkap. KPU Lamtim tetap berpegang pada aturan yang antara lain menyebutkan harus ada kesepakatan dengan koalisi pengusung Ela Siti Nuryamah – H. Azwar Hadi terkait pencabutan dukungan PDIP. Untuk itu, data dan dokumen pendaftaran dikembalikan kepada pihak paslon. Penolakan pasangan ini karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) masih terdaftar mengusung pasangan Ela Siti Nuryamah dan H. Azwar Hadi pada Sistem Informasi Pencalonan Kepala Daerah (Silon Kada) KPU. Ketua KPU Kabupaten Lampung Timur, Wasiyat Jarwo Asmoro, menjelaskan bahwa pada 28 Agustus 2024, DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Lampung Timur telah mendaftarkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atas nama Hj Ela Siti Nuryamah dan H. Azwar Hadi. Pendaftaran pasangan calon ini diterima dan tercatat dalam formulir MODEL B.1-KWK PARPOL dengan status diterima. Pendaftaran pasangan M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan, yang juga diusulkan oleh PDIP, tidak dapat dilanjutkan. Hal ini disebabkan oleh ketentuan yang tercantum dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2024 yang mengatur bahwa setiap partai politik hanya dapat mengusung satu pasangan calon di setiap daerah pemilihan. Dengan demikian, karena PDIP sudah terdaftar mengusung pasangan Ela-Azwar, maka pasangan Dawam-Ketut yang diusulkan oleh PDIP tidak memenuhi persyaratan untuk melanjutkan pendaftaran.  Penolakan ini mengundang kontroversi. Banyak pihak merasa bahwa keputusan KPU tidak adil dan berpotensi merugikan calon yang telah mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Tidak hanya itu, sejumlah pendukung pasangan Dawam-Ketut merasa bahwa mereka sedang menghadapi hambatan politik yang sengaja dibuat untuk memperlambat proses pencalonan mereka. Sebagai respons, pasangan ini melaporkan KPU kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komnas HAM, dengan harapan mendapatkan keadilan. Perjuangan hukum yang mereka lakukan menjadi salah satu episode penting dalam kisah pencalonan ini. Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 2038 yang dikeluarkan pada 11 September 2024 menjadi membawa angin segar bagi pasangan calon Dawam-Ketut, karena memberikan pedoman terkait penerimaan kembali pendaftaran pasangan calon pada daerah dengan satu pasangan calon. Surat edaran ini diterbitkan sebagai respons terhadap hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI, yang bertujuan untuk memberikan arahan mengenai permasalahan pendaftaran pasangan calon di daerah yang menghadapi calon tunggal, termasuk yang tidak menerima formulir Model BA.Tanda.Terima.KWK pada masa perpanjangan. Hal ini juga mengatur kewajiban KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk menerima pendaftaran pasangan calon yang mengalami masalah tersebut untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian administrasi lebih lanjut. Pasangan calon Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan yang sempat ditolak oleh KPU karena berkas pendaftaran mereka dinilai tidak lengkap sebelum surat edaran tersebut diterbitkan, namun, setelah diterbitkannya Surat Edaran KPU RI Nomor 2038/PL.02.2-SD/06/2024 tertanggal 11 September 2024, KPU Provinsi Lampung mengingatkan KPU Lampung Timur untuk menindaklanjuti instruksi tersebut. Ketua KPU Provinsi Lampung menegaskan bahwa tugas mereka adalah memastikan pelaksanaan surat edaran ini, sementara teknis pelaksanaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU Lampung Timur. Surat ini memberikan instruksi kepada KPU di daerah untuk menerima kelengkapan berkas pendaftaran bagi pasangan calon yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat. Salah satu poin penting dari surat tersebut adalah perubahan dokumen yang semula berupa Surat Kesepakatan partai pengusul menjadi Surat Pemberitahuan bermaterai. Perubahan ini memberikan ruang hukum yang lebih fleksibel bagi pasangan calon untuk memenuhi syarat administratif pencalonan. Isi surat edaran tersebut merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang telah beberapa kali diperbarui, serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur proses pencalonan. Pada daerah yang menghadapi satu pasangan calon, pemilihan dapat dilaksanakan apabila memenuhi syarat administrasi dan dilakukan setelah masa perpanjangan pendaftaran berakhir. Dalam hal ini, jika tidak ada pasangan calon lain yang mendaftar, maka pasangan calon yang terdaftar dapat dipastikan memenuhi syarat setelah melalui penelitian administrasi lebih lanjut. Menindaklanjuti Surat Edaran KPU RI Nomor 2038 tersebut, KPU Lampung Timur mengeluarkan Keputusan Nomor 1230 Tahun 2024 Tentang Jadwal Dan Tahapan Penerimaan Kembali Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Bupati Dan Wakil Bupati Lampung Timur Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024. Pasangan Dawam-Ketut akhirnya melengkapi dokumen persyaratan dan menyerahkannya ke KPU Lampung Timur pada Kamis, 12 September 2024. Proses ini diawali dengan mediasi yang difasilitasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lampung Timur. Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Lampung Timur, Desman Yusri, menyatakan bahwa kelengkapan dokumen yang diajukan pasangan Dawam-Ketut telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Dinas KPU RI Nomor 2038. Setelah dilakukan pemeriksaan manual, berkas tersebut dinyatakan lengkap dan diterima secara resmi oleh KPU Lampung Timur.  Pilkada Lampung Timur 2024 akhirnya menjadi ajang kontestasi dua pasangan calon, yaitu M. Dawam Rahardjo-Ketut Erawan dan Ela Siti Nuryamah-Azwar Hadi. Setelah melalui proses yang dinamis, termasuk penyesuaian regulasi melalui Surat Dinas KPU RI Nomor 2038 dan mediasi yang difasilitasi oleh Bawaslu, kedua pasangan calon berhasil memenuhi seluruh persyaratan administratif. Hal ini menandai pentingnya fleksibilitas kebijakan pemilu dalam mengatasi tantangan teknis dan menjaga prinsip inklusivitas dalam demokrasi lokal. KPU Lampung Timur melalui Keputusan Nomor 1245 Tahun 2024 akhirnya menetapkan dua pasangan calon peserta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur Tahun 2024. Keputusan ini menegaskan bahwa pasangan Ela Siti Nuryamah-Azwar Hadi (Ela-Azwar) dan M. Dawam Rahardjo-Ketut Erawan (Dawam-Ketut) resmi menjadi peserta dalam kontestasi Pilkada Lampung Timur 2024. Penetapan ini menandai berakhirnya proses administrasi dan penelitian kelengkapan dokumen yang telah melewati berbagai tahapan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selanjutnya, KPU Lampung Timur juga menetapkan nomor urut kedua pasangan calon melalui Keputusan Nomor 1246 Tahun 2024 tentang Penetapan Nomor Urut Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur Tahun 2024. Berdasarkan keputusan tersebut, pasangan Ela-Azwar mendapatkan nomor urut 1, sementara pasangan Dawam-Ketut mendapatkan nomor urut 2. Penetapan nomor urut ini menjadi salah satu tahapan penting dalam proses Pilkada, karena akan digunakan oleh masing-masing pasangan calon dalam kampanye serta sebagai identitas resmi mereka pada surat suara.   Tabel 5.1 Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur Tahun 2024   Nomor Urut Nama Pasangan Calon Partai Pengusung 1 Ela Siti Nuryamah, S. Sos.I., M.A.P dan Azwar Hadi, S.E., M.Si. Partai NasDem Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Kebangkitan Bangsa Partai Golongan Karya Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrat 2 M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan, S.H. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan   Keikutsertaan dua pasangan calon ini menciptakan persaingan politik yang lebih kompetitif dan memberikan pilihan kepada masyarakat Lampung Timur. Proses ini juga menunjukkan bagaimana lembaga penyelenggara pemilu dapat bekerja secara adaptif untuk menjamin hak partisipasi politik semua pihak. Dengan partisipasi dua pasangan calon, Pilkada Lampung Timur menjadi momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi daerah, sekaligus mencerminkan keberhasilan sistem demokrasi dalam menghadirkan keadilan dan keterbukaan.  


Selengkapnya
111

Menggenggam Integritas ditengah Kontestasi

Supriatmo Lumuan Ketua KPU Kab Banggai Kepulauan 2023-2028 Kelompok suporter La Grande Indonesia mempersembahkan koreo Garuda Raksasa bertuliskan, “Show Your Dignity” pada laga Timnas Indonesia vs Bahrain dalam putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Menurut saya yang menarik selain pertandingan yang membawa kemenangan untuk timnas kebanggan kita adalah koreo dari Kelompok suporter La Grande Indonesia bertuliskan “Show Your Dignity” (Tunjukkan Martabat Anda). Bagi saya tulisan ini bukan hanya soal sepakbola tetapi soal harga diri dan martabat negeri ini yang dipertaruhkan dalam sepakbola. Jika kita kaitkan dengan hal lain seperti kontestasi politik maka koreo dari supporter La Grande Indonesia ini juga sangat relate dan relevan mengilhami setiap pikiran dan tindakan para penyelenggara pemilu dalam melaksnakan kontestasi. Show Your Dignity harus di genggam oleh setiap penyelenggara pemilu untuk menjaga dan mengisolasi diri dari ekspansi kepentingan yang merusak jalannya kontestasi politik. Show Your Integrity harus jadi kesadaran kolektif untuk memberikan garansi kepada publik bahwa penyelengara pemilu akan on the track dalam melaksanakan setiap tahapan kontestasi. Penyelenggara pemilu akan selalu menjadi “artis kontestasi”, menjadi pusat perhatian publik saat tahapan kontestasi dimulai. Potret ini menunjukkan betapa penyelenggara pemilu memainkan peran yang sangat penting sebagai satu-satunya lembaga (KPU) yang diberi mandat mengelola dan melaksanakan seluruh tahapan pilkada maupun pemilu. Maka integritas (Show Your Integrity) penyelenggara pemilu menjadi mutlak dimiliki oleh setiap penyelenggara pemilu sebagai salah satu jaminan kualitas kontestasi. Oleh karena itu kualitas dan maqom integritas penyelenggara pemilu menjadi salah satu penentu baik buruknya proses pelaksanaan kontestasi. Kewenangan yang besar yang diberikan oleh negara melalui amanat Undang-undang (UU) di pundak para penyelenggara pemilu menjadi tantangan yang harus di jawab oleh setiap orang yang tergabung di dalam lembaga penyelanggara pemilu untuk menunjukkan kinerja yang baik. Melihat kewenangan yang diberikan oleh negara melalui perangkat regulasi kepada penyelenggara pemilu saat mengurusi seluruh proses kontestasi serta kewenangan yang besar, tentu ini menjadi tantangan sekaligus godaan bagi siapa saja yang diberi mandat memimpin lembaga penyelenggara pemilu. Setiap penyelenggara pemilu harus memiliki standar etik tinggi dan kemampuan menggenggam integritasnya di tengah hiruk-pikuk kontestasi. Kemampuan menggenggam integritas dalam melaksanakan seluruh tahapan kontestasi mutlak dimiliki oleh penyelenggara pemilu, karena kualitas kontestasi harus dimulai dari kualitas penyelenggera pemilu yang baik dalam mengurus seluruh tahapan. Penyelenggara pemilu bukan hanya dituntut netral namun harus terlihat netral di depan publik sebagai konsekuensi merawat kepantasan di depan publik. Penyelenggara pemilu bukan sekedar menjaga netralitasnya tetapi harus mampu membangun public trust. Kepercayaan publik penting untuk dijaga sebagai modal penyelenggara pemilu melaksnakan tugasnya. Publik harus punya keyakinan kepada penyelenggara soal integritasnya. Kenapa integritas penyelenggara pemilu menjadi keniscayaan dalam kontestasi, mutlak dimiliki oleh penyelenggara pemilu, karena dia akan mengonversi suara sebagai kemewahan rakyat yang paling tinggi (Vox Populi, Vox Dei ) menjadi kursi (jabatan).   Integritas adalah mahkota bagi setiap penyelenggara pemilu untuk dirawat dan dijaga kemuliaan dan kehormatannya sebagai modal dasar menjaga kemuliaan kontestasi. Mengurus pertarungan orang merebut kuasa tentu tidak mudah, banyak tantangan dan godaan untuk berselingkuh serta tergoda menggadaikan integritas. Sehingga menurut saya ada 3 hal yang harus di genggam seorang penyelenggar pemilu dalam upaya menegakkan integritasnya: Menggenggam Nilai-Nilai Agama Bagi saya agama adalah produsen tempat diproduksinya kebaikan dan kebenaran secara sempurna, maka agama adalah tuntunan dan rujukan paling sempurna di dalam mengatur baik dan buruknya perilaku seseorang. Agama memberi garis batas yang jelas dan tegas soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Sehingga bagi saya integritas itu tidak akan tumbuh secara baik kalau tidak ditopang oleh genggaman agama yang baik. Maka menggenggam nilai-nilai agama di dalam proses pelaksanaan kontestasi merupakan benteng utama yang harus dimiliki oleh  penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Agama harus fungsional menjadi benteng etik di dalam menggenggam integritas. Agama harus jadi tempat Kembali untuk memperbarui integritas di tengah kontestasi. Menggenggam Nilai-Nilai Etika Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan, "In civilized life, law floats in a sea of ethics" (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika). Pernyataan ini menunjukkan betapa etika memiliki kedudukan yang sangat tinggi dibandingkan peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu menurut saya etika adalah perkakas lunak dari integritas yang harus dimiliki untuk menegakkan integritas. Etika adalah soal memelihara kepantasan penyelenggara dalam melaksanakan seluruh tahapan di depan publik. Begitu pentingnya menjaga etika seorang penyelenggara pemilu, negara membentuk lembaga yang secara khusus mengadili perilaku etik penyelenggara yaitu Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP) untuk menilai apakah penyelengara pemilu itu melanggar etika atau tidak. Menggenggam Nilai-nilai Peraturan Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan adalah salah satu perkakas penting di dalam pelaksanaan seluruh tahapan kontestasi. Seluruh jalan dan lekuk kontestasi harus diatur sebagai upaya menghadirkan kepastian hukum. Maka seorang penyelenggara selain menggenggam agama dan etika juga harus menggenggam peraturan perundang-undangan sebagai guide dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Seorang penyelenggara pemilu harus memahami bahwa melaksanakan seluruh mekanisme dan prosedur kontestasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari menegakkan integritasnya. Tindakan melaksanakan seluruh proses dan mekanisme kontestasi adalah dalam rangka mengikuti kepentingan regulasi bukan kepentingan lain. Oleh karena itu menegakkan integritas dalam kontestasi adalah kemewahan yang harus digenggam sebagai bagian dari upaya menjaga marwah dan kehormatan lembaga penyelenggara pemilu. (*)


Selengkapnya