Sosialisasi Pilkada dan Pendidikan Pemilih : Upaya Wujudkan Demokrasi Berkualitas
oleh : Muhamad Iqbal TM (Anggota KPU Kabupaten Lampung Timur) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, yang menandai pelaksanaan otonomi daerah secara lebih substantif. Sejak pertama kali digelar secara langsung pada tahun 2005, Pilkada telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin daerahnya. Reformasi politik ini memberikan ruang partisipasi yang lebih besar kepada rakyat, sekaligus memperkuat legitimasi pemerintahan daerah yang terpilih. Namun, partisipasi pemilih dalam Pilkada masih menjadi tantangan signifikan, terutama di daerah dengan karakteristik geografis, demografis, dan sosial budaya yang kompleks, seperti di Lampung Timur. Lampung Timur, sebagai salah satu daerah otonom di Provinsi Lampung, memiliki dinamika politik dan sosial yang unik. Wilayah ini terdiri atas masyarakat yang heterogen baik dari segi etnis maupun budaya, dengan pola penyebaran penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Sejak Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan di kabupaten ini, tingkat partisipasi pemilih menunjukkan fluktuasi yang dipengaruhi oleh berbagai factor. Dalam konteks ini, sosialisasi Pilkada memegang peran strategis untuk menjembatani kesenjangan informasi dan membangun kesadaran politik masyarakat. Sosialisasi tidak hanya berfungsi sebagai media penyampaian prosedur teknis pemilu, tetapi juga sebagai sarana edukasi politik yang dapat membentuk pemahaman masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam menentukan arah pembangunan daerah. Namun, upaya ini kerap dihadapkan pada kendala seperti minimnya literasi politik, disinformasi, serta keterbatasan sumber daya dan strategi yang adaptif terhadap karakteristik masyarakat lokal. Pilkada Langsung dan Partisipasi Pemilih Pilkada Serentak 2024 telah selesai dilaksanakan pada 27 November 2024, menandai salah satu pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Dengan melibatkan 1.553 pasangan calon kepala daerah di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, pelaksanaan pilkada ini menjadi tonggak penting dalam menentukan arah pembangunan di berbagai daerah. Tingkat partisipasi pemilih menjadi salah satu indikator utama keberhasilan pilkada. Berdasarkan data resmi, tingkat partisipasi masyarakat mencapai 68 %. Meskipun target awal KPU sebesar 82 % cukup ambisius, capaian ini menunjukkan antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka, meskipun ada berbagai tantangan seperti kelelahan politik (political fatigue) pasca-Pemilu 2024 dan dinamika sosial-politik yang berkembang. Angka ini menunjukkan adanya penurunan signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya pada tahun 2020, di mana tingkat partisipasi di Provinsi Lampung mencapai 73,71%, dan di Lampung Timur sebesar 70,22%. Penurunan tingkat partisipasi di Provinsi Lampung sebesar 8,32% dan di Lampung Timur sebesar 6,09% menjadi catatan penting dalam evaluasi pilkada. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan tersebut adalah kelelahan politik (political fatigue) setelah Pemilu 2024, serta faktor-faktor lokal yang memengaruhi minat masyarakat untuk berpartisipasi. Legitimasi politik merupakan salah satu aspek fundamental yang sering kali menjadi perhatian utama bagi penyelenggara pilkada dan masyarakat secara luas. Isu ini menjadi tanggung jawab utama bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola seluruh tahapan pelaksanaan pilkada, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir. Peningkatan tingkat partisipasi pemilih berbanding lurus dengan peningkatan legitimasi politik terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain, legitimasi terhadap kepala daerah yang terpilih akan semakin kuat apabila tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada mencapai angka yang tinggi. Sebagai contoh, apabila partisipasi pemilih melebihi 80%, maka legitimasi politik terhadap kepala daerah yang terpilih dapat dianggap optimal (Lukman Ismail dkk. 2024). Selain berperan dalam legitimasi politik, partisipasi pemilih juga menjadi indikator penting dalam evaluasi kinerja penyelenggara pilkada, terutama KPU/KPUD. Partisipasi ini tidak hanya mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi, tetapi juga menjadi ukuran kepercayaan terhadap partai politik, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, dan kredibilitas penyelenggara pilkada itu sendiri. Pilkada langsung, yang merupakan implementasi langsung dari kehendak rakyat, akan kehilangan relevansinya apabila partisipasi pemilih tidak mencapai standar minimal yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, rendahnya tingkat partisipasi dapat mengindikasikan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemilu yang berlaku atau terhadap kualitas penyelenggaraan pilkada. Tingkat Partisipasi dan Fenomena Non Voting Menilik Perhelatan sebelumnya, pada Pilkada Lampung Timur 2015, pasangan Chusnunia Chalim dan Zaiful Bukhari memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 53,17%, mengalahkan Yusran Amirullah dan Sudarsono yang meraih 46,83%. Namun, pada Pilkada 2020, hasilnya lebih kompetitif. Pasangan Yusran Amirullah-Raden Benny Kisworo memperoleh 22,23%, Zaiful Bukhari-Sudibyo meraih 38,12%, sementara pasangan Dawam Raharjo-Azwar Hadi berhasil memenangkan pilkada dengan perolehan suara 39,65%. Meski pasangan pemenang memperoleh suara terbanyak, satu fakta yang menarik adalah jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mereka (non-voting) ternyata lebih banyak dibandingkan perolehan suara pemenang. Ini menunjukkan adanya ketidaktertarikan sebagian masyarakat terhadap proses pemilihan, yang menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan partisipasi politik di Lampung Timur. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di atas, pada Pilkada Lampung Timur tahun 2015, pasangan pemenang meraih 33,22% suara, yang setara dengan 263.926 suara dari total DPT sebesar 794.576 suara. Namun, angka non-voting pada Pilkada 2015 tercatat mencapai 36,42%, atau setara dengan 289.351 suara, yang lebih tinggi daripada perolehan suara pemenang. Fenomena ini mengindikasikan bahwa non-voting menjadi kelompok mayoritas dalam pilkada tersebut, menggambarkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat Lampung Timur pada waktu itu. Pada Pilkada 2020, meskipun terjadi penurunan jumlah suara pemenang yang hanya mencapai 27,3%, suara kandidat lainnya (dua kandidat) memperoleh 41,6%, dan non-voting tercatat sebesar 29,8%. Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya masih lebih besar dibandingkan dengan suara yang diberikan kepada pemenang. Hal ini mencerminkan adanya kecenderungan ketidaktertarikan atau ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap kandidat atau proses pemilihan yang berlangsung, terutama dalam konteks banyaknya calon yang bersaing. Pada Pilkada 2024, meskipun pemenang meraih 39,22% suara, angka non-voting kembali meningkat menjadi 35,79%, yang tetap menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan jumlah suara untuk pemenang, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tetap signifikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa partisipasi politik yang rendah dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu atau kandidat tetap menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi. Secara keseluruhan, data ini mengungkapkan tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu dan kepala daerah terpilih, terkait dengan legitimasi yang rendah akibat rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Meskipun ada pemenang yang jelas, rendahnya tingkat partisipasi dan tingginya angka non-voting menggambarkan pentingnya upaya perbaikan dalam meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian mengenai perilaku pemilih dan fenomena non-voting atau golongan putih (golput), terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi terjadinya nonvoting. Golput merujuk pada kelompok orang yang tidak menggunakan hak pilih mereka dalam suatu pemilihan, baik mereka yang tidak terdaftar maupun yang sudah terdaftar tetapi memilih untuk tidak memberikan suara. Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap proses pemilu dan politisi yang ada. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap politisi sering kali memudar, yang berkontribusi pada keputusan untuk tidak memilih (Gesti Rahayu, Faizal, dan Santoso 2024) . Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku non-voting adalah kejenuhan terhadap pemilu. Dalam konteks ini, terlalu banyaknya jenis pemilihan, mulai dari pemilihan presiden hingga pemilihan kepala desa, dapat menyebabkan rasa jenuh di kalangan masyarakat. Kejenuhan ini dapat mengurangi minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu, yang pada gilirannya dapat meningkatkan angka golput. Penelitian menunjukkan bahwa ketika pemilih merasa terbebani oleh banyaknya pemilihan yang harus dihadapi, mereka cenderung merasa tidak termotivasi untuk memberikan suara (Wahyudy 2024). Selain itu, memudarnya harapan masyarakat terhadap pemilu juga menjadi faktor penting. Banyak pemilih merasa bahwa pemilu tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka merasa bahwa suara mereka tidak berarti. Penelitian menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa tidak ada perbedaan yang nyata antara kandidat atau partai politik, mereka cenderung memilih untuk tidak berpartisipasi (Wahyudy 2024). Hal ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada dan dapat mengarah pada pengabaian hak suara. Kurangnya pemahaman tentang sistem pemilihan umum juga berkontribusi terhadap fenomena golput. Banyak individu tidak memahami proses pemilu, termasuk cara mendaftar dan memberikan suara, yang dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi. Pendidikan pemilih yang buruk dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan angka golput. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sistem pemilu sangat penting untuk mendorong partisipasi. Sistem pemilu yang rumit dan berbelit-belit juga menjadi hambatan bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilihan. Ketika prosedur pemilu dianggap terlalu rumit, banyak pemilih yang merasa frustrasi dan akhirnya memilih untuk tidak memberikan suara. Upaya Optimalisasi Partisipasi Pemilih Sosialisasi terkait pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lampung Timur merupakan tanggung jawab yang krusial bagi KPUD, mengingat pentingnya proses sosialisasi sebagai sarana untuk menyampaikasn informasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang signifikansi partisipasi dalam pilkada langsung. Kegiatan sosialisasi, penyuluhan, dan bimbingan teknis menjadi bagian integral dari tahap persiapan yang paling intensif dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Lampung Timur. Sosialisasi pada umumnya lebih difokuskan pada masyarakat secara luas, sedangkan penyuluhan dan bimbingan teknis lebih ditujukan kepada penyelenggara pemilu. Berdasarkan evaluasi dari pengalaman pilkada tahun 2020, KPU Kabupaten Lampung Timur telah mengimplementasikan berbagai pendekatan strategis dalam memperkuat sosialisasi untuk mendorong peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada yang akan datang. Pada tahapan Pilkada 2024, KPU Kabupaten Lampung Timur melaksanakan beberapa bentuk kegiatan sosialisasi untuk memastikan masyarakat memahami proses pemilihan dan pentingnya partisipasi mereka. Salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah penyuluhan langsung yang dilaksanakan di berbagai lokasi seperti sekolah, kantor pemerintahan, tempat ibadah, Kantor Ormas, dan desa-desa. Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban pemilih serta tata cara memilih dengan benar. Dalam penyuluhan ini, masyarakat diberi kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan penjelasan terkait proses Pilkada. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara berkala mulai beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pilkada dan berlanjut hingga menjelang hari pemilihan. Selain itu, KPU juga memanfaatkan media massa cetak seperti surat kabar, brosur, dan pamflet untuk menyebarkan informasi terkait Pilkada. KPU Kabupaten Lampung Timur melaksanakan sosialisasi melalui media massa cetak dengan menerbitkan iklan sosialisasi, pengumuman, serta berita-berita yang berkaitan dengan kegiatan KPU dan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Lampung Timur. Dalam upaya ini, KPU bekerja sama dengan media massa cetak lokal untuk memastikan informasi terkait pilkada dapat tersebar luas dan diakses oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Lampung Timur. Kerja sama ini bertujuan untuk memfasilitasi distribusi informasi yang efektif, guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan pilkada dan partisipasi mereka dalam proses demokrasi tersebut. Tidak hanya media cetak, KPU Kabupaten Lampung Timur juga memanfaatkan media massa elektronik seperti radio, televisi, dan media sosial untuk menyebarluaskan informasi. Misalnya, melalui program-program yang disiarkan, masyarakat dapat mengetahui jadwal pemilihan, syarat pencalonan, serta cara memilih yang benar. KPU juga menyelenggarakan debat publik yang disiarkan secara elektronik, memberikan platform bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi langsung dari para calon. Selain itu, penggunaan platform media sosial seperti Instagram dan Facebook juga mempermudah KPU untuk menyampaikan informasi secara langsung kepada kalangan muda, yang lebih banyak mengakses informasi melalui media digital. Untuk lebih memperluas jangkauan sosialisasi, KPU Kabupaten Lampung Timur memasang alat peraga seperti baliho, spanduk, dan poster di lokasi-lokasi strategis seperti jalan utama, alun-alun, pasar, dan kantor pemerintahan. Alat peraga ini berisi informasi penting mengenai Pilkada, termasuk tanggal pemilihan, lokasi TPS, dan cara-cara memilih dengan benar. Pemasangan alat peraga ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspek estetika dan ketertiban umum agar tidak merusak pemandangan dan lingkungan sekitar. KPU memastikan bahwa alat peraga yang dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk ukuran dan lokasi yang sudah disetujui oleh pihak berwenang. Pelaksanaan sosialisasi Pilkada 2024 di Kabupaten Lampung Timur tidak hanya melibatkan KPU, tetapi juga berbagai pihak lain, seperti aparat keamanan dan tokoh masyarakat. Polisi dan TNI turut mengamankan kegiatan sosialisasi di desa-desa dan lokasi-lokasi umum, memastikan bahwa proses sosialisasi berjalan dengan aman dan tertib. Selain itu, organisasi masyarakat dan tokoh lokal berperan aktif dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, dengan pendekatan yang lebih personal dan dekat. Salah satu contoh pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilihat dalam kegiatan yang dilakukan di Desa Banarjoyo, Kecamatan Batanghari, di mana Polres Lampung Timur juga turut memberikan pengamanan untuk mendukung kelancaran acara. Secara keseluruhan, KPU Kabupaten Lampung Timur telah melaksanakan berbagai bentuk sosialisasi yang melibatkan banyak pihak dan memanfaatkan berbagai media untuk memastikan bahwa informasi terkait Pilkada dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024, dengan memberikan akses informasi yang mudah, jelas, dan merata. Realitas di Lapangan Hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Lampung Timur menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam tingkat partisipasi pemilih. Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Lampung Timur tercatat sebesar 63,17%, menjadikannya sebagai salah satu daerah dengan partisipasi terendah. Namun, pada Pilkada 2020, tingkat partisipasi meningkat menjadi 70,22%, mengangkat Lampung Timur keluar dari posisi sebagai daerah dengan partisipasi terendah. Meskipun demikian, pada Pilkada 2024, tingkat partisipasi kembali mengalami penurunan menjadi 64,13%. Peningkatan dan penurunan ini mencerminkan adanya dinamika dalam upaya sosialisasi dan partisipasi pemilih, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk strategi yang diterapkan oleh penyelenggara pemilu, kesadaran politik masyarakat, serta faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi pemilih. Berdasarkan hasil Pilkada Lampung Timur 2024, terdapat 823.417 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari jumlah tersebut, sebanyak 531.228 pemilih menggunakan hak pilihnya dengan benar, menghasilkan suara sah sebesar 64,21%. Sedangkan suara yang tidak sah tercatat sebanyak 26.236 suara atau sebesar 3,19%. Angka non-voting atau golput pada Pilkada 2024 tercatat mencapai 294.703 pemilih, yang setara dengan 35,79% dari DPT. Meskipun pemenang Pilkada 2024 meraih 39,22% suara sah atau sebanyak 322.946 suara, data ini menunjukkan bahwa masih banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih untuk tidak memberikan suara yang sah. Angka nonvoting yang cukup tinggi ini bisa jadi mencerminkan ketidaksetujuan atau ketidakpercayaan terhadap calon yang ada, atau bisa juga menjadi tanda adanya apatisme terhadap proses pemilu itu sendiri. Peningkatan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020, meskipun diikuti dengan penurunan pada Pilkada 2024, menunjukkan adanya pergeseran dalam sikap masyarakat terhadap pemilu. Pada Pilkada 2020, meskipun hasilnya tetap menunjukkan adanya ketidakpuasan, tingkat partisipasi yang meningkat dapat diartikan sebagai respon positif terhadap upaya-upaya sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, partai politik, dan berbagai organisasi masyarakat. Beberapa faktor, seperti penggunaan media sosial dan pendekatan yang lebih langsung kepada masyarakat, dapat memperkuat kesadaran politik dan mendorong mereka untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, ketidakstabilan dalam tingkat partisipasi ini juga mengindikasikan bahwa meskipun ada peningkatan, masih ada tantangan besar dalam mencapai partisipasi pemilih yang maksimal. Pada Pilkada 2024, meskipun angka partisipasi pemilih sedikit menurun, namun hal ini tetap mencerminkan bahwa sebagian besar pemilih masih menggunakan hak pilihnya dengan benar. Namun, jumlah suara yang tidak sah, yang mencapai 3,19%, dan tingginya angka non-voting menunjukkan adanya hambatan dalam proses pemilihan yang mempengaruhi keputusan pemilih. Dalam beberapa kasus, pemilih mungkin merasa tidak puas dengan pilihan calon yang ada, dan sebagai akibatnya mereka memilih untuk tidak berpartisipasi atau memberikan suara yang tidak sah sebagai bentuk protes. Fenomena ini bukanlah hal yang baru, karena ketidakpercayaan terhadap proses pemilu sering kali mendorong masyarakat untuk menarik diri dari partisipasi aktif dalam memilih. Golput atau non-voting sering kali dipandang sebagai indikator ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada, di mana sebagian pemilih merasa bahwa hasil pemilu tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu dan calon kepala daerah terpilih, yang harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Meningkatkan partisipasi pemilih bukan hanya tanggung jawab KPU, tetapi juga para pemangku kepentingan lainnya, termasuk partai politik dan masyarakat sipil, untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pemilih untuk berpartisipasi aktif dan merasa bahwa suara mereka memiliki dampak nyata. Dalam konteks ini, tantangan terbesar bagi pemimpin yang terpilih adalah mengatasi fenomena non-voting dan menciptakan kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas demokrasi di daerah tersebut. Kepala daerah yang terpilih harus mampu menunjukkan komitmen yang kuat dalam memimpin dan meyakinkan masyarakat bahwa proses pemilu adalah sarana yang efektif untuk perubahan. Mengatasi apatisme politik dan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, mulai dari pendidikan politik yang lebih baik hingga reformasi dalam sistem pemilu yang lebih transparan dan mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
Selengkapnya