Pilkada 2024 dan Dinamika Sosial Masyarakat Lampung Timur
oleh : Dedi Maryanto (Ketua KPU Kabupaten Lampung Timur)
Pilkada dan Tantangan Demokrasi Lokal
Setelah Reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki era baru dalam perjalanan demokrasinya. Perubahan besar terjadi pada struktur pemerintahan dan praktik politik, terutama melalui kebijakan desentralisasi. Kebijakan ini mengalihkan sebagian kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah, memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri. Tujuannya adalah menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal, lebih terbuka dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan. (Suriadi dkk. 2024).
Namun, meskipun desentralisasi telah berjalan lebih dari dua dekade, tantangan besar tetap ada. Ketimpangan pembangunan antar daerah dan dominasi elit politik masih menjadi isu yang mengemuka. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun partisipasi politik meningkat, banyak masyarakat masih merasa terpinggirkan. Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), misalnya, rakyat sering kali hanya berperan sebagai penonton, sementara kepentingan elit mendominasi kontestasi politik (Mardyanto Wahyu Tryatmoko 2023). Fenomena ini mencerminkan ketegangan antara warisan politik yang sentralistik dan harapan untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Desentralisasi bukan hanya soal redistribusi kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan tersebut dikelola dan diakses oleh masyarakat.
Demokrasi sering kali menghadirkan kontradiksi yang menarik. Di satu sisi, ia memberikan ruang bagi kebebasan individu, mengizinkan persaingan ide, dan bahkan konflik sebagai bagian dari dinamika politik. Namun, di sisi lain, demokrasi juga mengharuskan adanya aturan yang jelas, kestabilan dalam proses pemerintahan, dan kemampuan untuk mencapai kesepakatan bersama di tengah keberagaman pendapat dan kepentingan. Dalam praktiknya, keduanya— kebebasan dan keteraturan—harus berjalan beriringan agar demokrasi dapat berjalan dengan efektif.
Demokrasi menciptakan ruang bagi interaksi antara pemerintah dan masyarakat, di mana idealnya, pemerintah harus bersikap jujur dan adil dalam menjalankan kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi ketegangan antara kebebasan individu dan kebutuhan untuk menjaga keteraturan sosial. Dalam hal ini, Prabowo menekankan pentingnya pendidikan demokrasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, yang merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan kebebasan dan keteraturan dalam sistem demokrasi. (Prabowo 2023).
Pilkada langsung di Indonesia, yang diperkenalkan sebagai bagian dari upaya demokratisasi pasca-reformasi, diharapkan dapat mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal. Keyakinan dasar dibalik hal ini adalah bahwa demokratisasi lokal akan berkontribusi pada kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Banyak akademisi dan politisi yang menganggap Pilkada langsung sebagai solusi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah, yang pada gilirannya dapat memperkuat legitimasi pemerintah pusat. (Manar 2018).
Demokratisasi lokal memiliki peran yang sangat penting dalam membawa manfaat besar bagi masyarakat dan pemerintahan. Pertama, demokratisasi lokal menjadi sarana pendidikan politik yang lebih dekat dengan kehidupan warga. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, masyarakat memperoleh kesempatan untuk lebih memahami proses demokrasi dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.(Suriadi dkk. 2024). Hal ini tidak hanya meningkatkan kesadaran politik, tetapi juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan.
Kedua, pemerintah daerah memainkan peran penting dalam mengontrol pemerintah pusat. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap kebijakan pusat, menciptakan keseimbangan kekuasaan yang lebih adil (Suriadi dkk. 2024). Hal ini memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di tingkat lokal.
Ketiga, partisipasi politik di tingkat daerah sering kali lebih baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dibandingkan di tingkat nasional. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat lebih aktif di tingkat lokal, di mana mereka merasa lebih dekat dengan isu-isu yang dihadapi dan memiliki kepentingan langsung terhadapnya (Handoko dan Atmojo 2020). Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang lebih responsif dan akuntabel.
Keempat, kinerja pemerintah daerah yang baik dapat memperkuat legitimasi dan kredibilitas politik pemerintah pusat. Ketika pemerintah daerah sukses dalam melaksanakan programprogramnya, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara keseluruhan(Mariana dan Husin 2017). Oleh karena itu, keberhasilan demokratisasi lokal tidak hanya berdampak pada tingkat lokal, tetapi juga pada stabilitas dan legitimasi pemerintahan nasional.
Pilkada langsung sering kali dipandang sebagai cermin dari penerapan demokrasi di Indonesia. Proses pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk secara langsung menentukan pemimpin yang mereka percayai, yang pada dasarnya adalah hak dasar dalam sistem demokrasi. Dengan melibatkan rakyat dalam keputusan politik di tingkat lokal, Pilkada langsung memperkuat partisipasi masyarakat dan memberi mereka kesempatan untuk mengekspresikan kehendak mereka, sehingga memperlihatkan penerapan nilai-nilai demokratis. Pilkada langsung seolah menjadi simbol bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, bukan dari kekuasaan pusat atau elit politik semata.
Dalam konteks ini, Pilkada 2024, yang merupakan bagian dari Pilkada Serentak, tidak sekadar sebuah pemilihan, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk mengubah dinamika politik dengan memberdayakan masyarakat. Sejak 2015, inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, agar mereka dapat mengambil kembali kekuasaan politik dari cengkeraman elit dan memengaruhi keputusan-keputusan politik di berbagai level pemerintahan. Pilkada langsung dengan demikian bukan hanya sekadar mekanisme politik, tetapi juga merupakan wujud nyata dari demokrasi, yang memungkinkan setiap individu untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka (Defretes dan Kleden 2023).
Pilkada Serentak 2024 menandai momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, dengan sejumlah fakta menarik yang menjadikannya berbeda dari Pilkada sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Pilkada dilaksanakan hanya beberapa bulan setelah Pemilu Presiden dan Legislatif yang berlangsung pada Februari 2024, menciptakan dinamika politik yang luar biasa di tahun tersebut. Pilkada Serentak yang dilaksanakan pada 27 November 2024 ini mencakup 37 provinsi, lebih dari 500 kabupaten/kota, dan ribuan kecamatan, menjadikannya salah satu pesta demokrasi lokal terbesar di dunia. Pemilu kali ini juga ditandai dengan dominasi pemilih muda, di mana generasi milenial dan Gen Z menjadi kekuatan utama yang mempengaruhi hasil Pilkada. Untuk meraih dukungan, para kandidat harus beradaptasi dengan karakteristik pemilih muda, terutama dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana utama kampanye.
Selain itu, digitalisasi dalam kampanye Pilkada 2024 semakin dominan, dengan penggunaan teknologi informasi dalam berbagai aspek, mulai dari kampanye melalui media sosial hingga pengawasan dan penghitungan suara. Teknologi ini tidak hanya membuat proses Pilkada lebih transparan dan efisien, tetapi juga mempercepat transformasi demokrasi di Indonesia. Peningkatan partisipasi perempuan dalam Pilkada 2024 juga menjadi hal yang menggembirakan, dengan banyaknya kandidat perempuan yang maju dan berkompetisi. Isu lingkungan, yang semakin menjadi perhatian global, juga diangkat oleh banyak kandidat sebagai bagian dari program kerja mereka, mencerminkan kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu keberlanjutan.
Pilkada 2024 juga menunjukkan dinamika koalisi politik yang berbeda antara tingkat nasional dan daerah. Koalisi partai politik di tingkat daerah menunjukkan strategi yang lebih fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda-beda. Pengawasan terhadap jalannya Pilkada 2024 diperketat, dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencegah kecurangan dan praktik politik uang. Selain itu, Pilkada 2024 juga melibatkan semangat tinggi dari warga desa yang aktif dalam menentukan calon kepala daerah mereka, mengadakan musyawarah lokal untuk memilih pemimpin yang mereka anggap terbaik. Partisipasi ini menunjukkan kemajuan dalam inklusivitas demokrasi di daerah pedesaan. Dengan tingginya tingkat partisipasi pemilih, Pilkada 2024 mencatatkan rekor baru dalam sejarah pemilihan langsung di Indonesia. Proses pemilihan ini berhasil memperlihatkan kedewasaan demokrasi Indonesia, di mana masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut berperan aktif dalam menentukan arah pemerintahan daerah mereka, sekaligus memperkuat legitimasi dan kredibilitas pemerintahan secara keseluruhan.
Etnisitas dan Keberagamaan dalam Dinamika Sosial Politik Pilkada
Seperti banyak daerah di Provinsi Lampung, Lampung Timur merupakan wilayah yang kaya akan keberagaman etnis, yang menciptakan interaksi antara penduduk asli Lampung dengan berbagai kelompok pendatang, terutama dari suku Jawa. Keberagaman ini menciptakan jalinan hubungan sosial yang erat namun juga diwarnai oleh ketegangan politik, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah dan pengaruh kekuasaan lokal.
Sejarah transmigrasi yang dimulai sejak masa kolonial Belanda telah meninggalkan jejak yang sangat kuat di Lampung Timur. Proyek transmigrasi ini membawa ribuan pendatang dari Pulau Jawa untuk mengisi lahan-lahan kosong di wilayah Lampung Timur, dengan tujuan mengurangi kepadatan penduduk di Jawa. Akibatnya, etnis Jawa kini menjadi kelompok dominan di wilayah ini, dengan sebagian besar penduduknya berbahasa Jawa dan mengadopsi banyak kebiasaan serta tradisi Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun suku Lampung tetap menjadi suku asli yang mewarnai kebudayaan lokal, kehadiran suku Jawa telah memberikan dampak besar pada kehidupan sosial dan politik di daerah ini.
Dinamika antara penduduk asli dan pendatang menjadi salah satu aspek utama dalam sosio-politik Lampung Timur, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah. Identitas etnis dan asal-usul sering kali dimanfaatkan sebagai strategi politik untuk meraih dukungan. Masyarakat Lampung sebagai penduduk asli, merasa perlu memperjuangkan representasi mereka, sementara pendatang—terutama dari Jawa, Bali, dan daerah lainnya—memiliki pengaruh besar karena jumlah mereka yang signifikan serta peran ekonomi yang mereka jalankan. Dalam pemilihan kepala daerah, isu ini sering dimanfaatkan para calon melalui pendekatan yang menekankan persatuan budaya, adat dan kesukuan. Kondisi ini mencerminkan tantangan besar bagi Lampung Timur untuk menciptakan keseimbangan antara penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan upaya mewujudkan integrasi yang harmonis bagi pendatang, demi menjaga stabilitas sosial dan mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Secara keseluruhan, Lampung Timur merupakan gambaran dari sebuah wilayah yang terus berkembang, dipenuhi dengan dinamika sosial yang kompleks. Ketegangan antara penduduk asli dan pendatang, serta pergeseran kekuasaan politik, menjadi bagian dari cerita panjang perjalanan daerah ini dalam menghadapi tantangan kebijakan transmigrasi, perkembangan otonomi daerah, dan perjuangan untuk keadilan sosial yang lebih merata.
Dalam konteks Pilkada, politik identitas etnis, meskipun sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan, pada kenyataannya tidak dapat dihindari di wilayah seperti Lampung Timur, di mana keberagaman etnis menjadi kenyataan sosial yang mendalam. Isu identitas etnis sering kali menjadi daya tarik dalam kontestasi politik, terlebih ketika kelompok-kelompok tertentu merasa identitas mereka tidak terwakili atau terpinggirkan. Dalam konteks ini, calon pemimpin daerah harus menyadari bahwa keberagaman etnis tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga menjadi kenyataan yang perlu dikelola dengan hati-hati. Masyarakat asli Lampung, misalnya, mungkin merasa bahwa keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas perlu dipertahankan dan diperjuangkan dalam politik lokal, sementara pendatang yang berasal dari suku Jawa atau daerah lainnya mungkin menginginkan pengakuan atas kontribusi mereka dalam perkembangan ekonomi dan sosial daerah. Calon pemimpin yang cerdas akan melihat keberagaman ini sebagai sebuah peluang untuk membangun kebijakan yang inklusif, yang memperhatikan kebutuhan setiap kelompok tanpa mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. Namun, politik identitas ini tetap akan menjadi bagian dari dinamika pemilihan kepala daerah, yang harus dikelola dengan bijak agar tidak menimbulkan perpecahan yang lebih besar dan justru memperburuk ketegangan antar kelompok.
Dalam setiap pemilihan kepala daerah langsung di Lampung Timur, sejak sistem ini diberlakukan, komposisi pasangan calon hampir selalu memperhatikan keterwakilan etnis antara suku Jawa dan Lampung. Pola ini mencerminkan upaya para kandidat untuk merangkul keberagaman etnis yang menjadi ciri khas wilayah ini. Pasangan calon dengan kombinasi "Jawa-Lampung" atau "Lampung-Jawa" sering kali dianggap sebagai strategi efektif untuk mengamankan dukungan dari kedua kelompok utama ini. Hal ini juga mencerminkan realitas bahwa baik penduduk asli Lampung maupun pendatang dari suku Jawa memiliki pengaruh besar dalam menentukan hasil pemilihan.
Namun, strategi ini tidak hanya tentang mencerminkan keberagaman, tetapi juga menyiratkan adanya kepentingan politik identitas yang signifikan. Pasangan calon yang berhasil biasanya tidak hanya mengandalkan simbolisme etnis, tetapi juga harus mampu menunjukkan komitmen yang nyata terhadap kepentingan seluruh masyarakat. Pemilih semakin kritis terhadap kandidat yang hanya mengeksploitasi isu etnis tanpa memberikan solusi konkret terhadap tantangan sosial, ekonomi, dan pembangunan yang dihadapi daerah. Oleh karena itu, tantangan bagi calon pemimpin tidak hanya menciptakan keseimbangan etnis dalam tim mereka, tetapi juga memastikan bahwa keberagaman ini diterjemahkan menjadi kepemimpinan yang inklusif dan kebijakan yang adil bagi seluruh warga Lampung Timur.
Identitas keagamaan dalam Pilkada juga seringkali menjadi aspek lain yang diperhatikan oleh calon kepala daerah dalam meraih dukungan pemilih. Dalam konteks kontestasi lokal, isu identitas agama, ras, atau suku bisa menjadi bagian dari strategi politik untuk membangun hubungan dengan kelompok tertentu. Penggunaan identitas ini dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan pemilih, karena banyak orang cenderung memilih calon yang dianggap mewakili latar belakang atau nilai-nilai mereka (Rosdiana dan Annis Azhar Suryaningtyas 2024).
Politik identitas dalam pemilihan kepala daerah sering kali menjadi bagian dari dinamika yang tak terhindarkan, karena pada kontestasi lokal, isu-isu tersebut lebih mudah untuk diangkat. Politik identitas dapat menjadi strategi yang efektif untuk meraih dukungan secara cepat, terutama ketika calon dapat membangun kedekatan dengan kelompok pemilih tertentu. Namun, meskipun politik identitas dapat mempengaruhi hasil pemilihan, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Pemanfaatan isu primordial seperti etnis, agama, atau ideologi sering kali berpotensi menciptakan polarisasi (Oceania dkk. 2024). Isu-isu tersebut dapat memperkuat perbedaan antar kelompok jika tidak dikelola dengan bijak.
Sebagai contoh, dalam Pilkada Lampung Timur pada beberapa periode terakhir, termasuk 2015, 2020, dan 2024, pasangan calon yang memenangkan kontestasi mendapat dukungan dari partai politik dengan basis massa tertentu. Pada Pilkada 2015-2020, pasangan Chusnunia Chalim dan Zaiful Bokhari mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrat. Begitu pula pada Pilkada 2020-2025, pasangan Dawam Raharjo dan Azwar Hadi meraih kemenangan dengan dukungan dari PKB. Pada Pilkada 2024, pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi juga memperoleh kemenangan dengan dukungan dari basis massa yang serupa. Pemilihan calon berdasarkan afiliasi politik atau identitas kelompok ini mencerminkan dinamika dalam kontestasi Pilkada yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Pada dua kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Lampung Timur, identitas keagamaan, khususnya identitas warga Nahdlatul Ulama (NU), telah digunakan sebagai salah satu strategi politik untuk meraih dukungan pemilih. Pemanfaatan identitas ini bisa memiliki sisi positif dan negatif. Di sisi positif, penggunaan identitas keagamaan dapat memperkuat rasa persatuan dan kesamaan visi di kalangan pemilih yang memiliki afiliasi serupa. Ini dapat memperkuat kedekatan antara calon dan pemilih, serta mempercepat komunikasi dalam kampanye. Selain itu, pendekatan ini bisa membantu calon dalam menciptakan citra yang lebih akrab dan relevan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh kelompok tertentu.
Namun, di sisi lain, pemanfaatan identitas keagamaan juga memiliki risiko tertentu, terutama dalam konteks politik lokal yang penuh dengan kemajemukan agama, budaya, dan identitas lainnya. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hal ini berpotensi menimbulkan polarisasi yang dapat memperburuk hubungan antar kelompok. Isu identitas yang digunakan untuk menarik dukungan politik bisa memperbesar sekat antar kelompok, baik berdasarkan agama, suku, atau etnis. Meskipun pada Pilkada Lampung Timur ini ketegangan antara kelompok suku pendatang dan kelompok lainnya belum berkembang menjadi konflik fisik, perbedaan pendapat dan ekspresi verbal yang tajam sudah cukup terasa. Jika tidak ditangani dengan bijak, ketegangan ini berisiko memicu ketidakharmonisan sosial yang lebih besar (Oceania dkk. 2024).
Selain itu, berlarut-larutnya politik identitas berpotensi menumbuhkan pandangan eksklusif yang dapat merusak keharmonisan sosial dan memperburuk keragaman. Dalam beberapa kasus, isu-isu identitas yang dipolitisasi dapat menciptakan fenomena post-truth, di mana informasi yang tidak terverifikasi dianggap lebih benar, sementara kebenaran yang objektif dipertanyakan. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa politik identitas, jika diterapkan secara bijaksana dan seimbang, dapat memberikan keuntungan bagi para calon dalam meraih dukungan dari basis pemilih yang besar. Namun, penting untuk memastikan bahwa proses tersebut tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.
Setelah Pilkada, kewajiban pemimpin terpilih untuk melakukan rekonsiliasi sangat penting untuk menjaga persatuan dan stabilitas sosial. Pemimpin harus merangkul seluruh elemen masyarakat, mengedepankan inklusivitas, dan menghormati perbedaan yang ada. Proses rekonsiliasi ini melibatkan dialog antar kelompok yang terpolarisasi serta memastikan kebijakan dan pemerintahan yang adil dan transparan, tanpa diskriminasi terhadap kelompok mana pun. Dengan demikian, pemimpin terpilih dapat menciptakan pemerintahan yang stabil, mengakomodasi keberagaman, dan mengutamakan kepentingan bersama demi kemajuan bersama masyarakat.
Pemerataan Pembangunan dan Kesejahteraan
Calon kepala daerah yang berhasil mengemas isu pemerataan pembangunan dan kesejahteraan dengan baik terbukti mampu menarik simpati masyarakat Lampung Timur. Fokus pada pemerataan pembangunan menjadi sangat relevan mengingat masih adanya kesenjangan infrastruktur dan akses layanan publik antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dalam konteks ini, pemimpin yang mampu menghadirkan kebijakan konkret yang menjangkau semua lapisan masyarakat akan lebih diterima dan dipercaya.
Program-program yang berorientasi pada perbaikan infrastruktur, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum, serta peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, menjadi bagian penting dari upaya mencapai pemerataan pembangunan. Selain itu, pengembangan sektor-sektor ekonomi lokal, seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata, dapat memberikan dampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat perhatian (Khalil dan Syah 2024).
Ketika pemimpin daerah dapat menunjukkan komitmennya dalam mengatasi kesenjangan ini dengan program-program yang terukur dan berbasis kebutuhan masyarakat, mereka tidak hanya memenangkan dukungan, tetapi juga membangun hubungan yang lebih erat dengan warga. Dengan langkah-langkah nyata yang memperlihatkan kemajuan di berbagai sektor, masyarakat Lampung Timur merasa lebih dihargai dan diwakili dalam pembangunan daerah mereka.
Pemerataan Pembangunan bukan sekadar isu politik, tetapi juga kebutuhan mendasar untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Pemimpin yang mengedepankan hal ini dalam setiap kebijakan dan programnya tidak hanya mendapatkan kepercayaan masyarakat, tetapi juga dapat mendorong Lampung Timur menuju masa depan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.
(Gambar 1 Visi Misi Calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Timur pada Pilkada Serentak 2024)
Dalam Pilkada Lampung Timur, kedua pasangan calon kepala daerah mengemukakan berbagai janji politik yang berfokus pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi menyoroti komitmen mereka dalam memperbaiki infrastruktur dasar, seperti jalan dan jembatan, untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah. Mereka juga menjanjikan peningkatan kualitas layanan publik, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya menciptakan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat Lampung Timur.
Sementara itu, pasangan Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan berencana untuk melanjutkan dan memperkuat program-program di sektor kesehatan, pendidikan, keagamaan, sosial, dan ketenagakerjaan yang telah ada. Mereka juga fokus pada pengembangan ekonomi produktif dengan mengoptimalkan potensi lokal, seperti pertanian dan perikanan, serta mendukung pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas mereka, termasuk perbaikan jalan dan fasilitas umum untuk mendukung konektivitas antarwilayah. Dengans pendekatan yang menyeluruh, Dawam dan Ketut berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program yang mencakup berbagai sektor.
Secara keseluruhan, baik Ela dan Azwar maupun Dawam dan Ketut menyajikan visi yang mengarah pada pembangunan yang lebih baik untuk Lampung Timur. Keduanya berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Ela dan Azwar lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur dan layanan dasar, sedangkan Dawam dan Ketut menawarkan solusi lebih luas dengan penguatan berbagai sektor yang saling terkait. Bagi pemimpin terpilih, tiba saatnya merealisasikan janji-janji politik ini. Keberhasilan dari janji-janji ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka dalam mengimplementasikan program-program mereka secara efektif dan berkelanjutan, serta bagaimana mereka dapat menjalin kemitraan dengan masyarakat dan berbagai pihak terkait untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan merata.
Pemilih Muda di Pilkada 2024
Indonesia menghadapi periode bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2024. Fenomena ini membawa dampak signifikan terhadap dinamika politik, khususnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Bonus demografi merujuk pada kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Dengan jumlah pemilih muda yang semakin besar, Pilkada 2024 menjadi momen penting dalam memanfaatkan potensi ini untuk membentuk arah politik yang lebih inklusif dan progresif (Yuniar dan Ahsan 2024).
Pemilih muda, yang sebagian besar berada dalam rentang usia 17 hingga 35 tahun, merupakan kelompok yang memiliki potensi besar untuk mempengaruhi hasil Pilkada. KPU Lampung Timur menyebut kelompok pemilih muda yaitu generasi milenial dan generasi Z mendominasi dengan jumlah 3.641.169 pemilih. Terdiri dari 2.235.583 pemilih atau 34,31% dari generasi milenial (27-42 tahun) dan 1.405.586 atau 21,57% pemilih dari generasi Z (17-26 tahun). Mereka adalah generasi yang lebih melek teknologi, terbuka pada ide-ide baru, dan lebih aktif dalam gerakan sosial serta perubahan. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses informasi yang luas melalui media sosial dan platform digital, pemilih muda dapat menjadi motor penggerak perubahan dalam proses politik. Di sisi lain, pemilih muda juga sangat memperhatikan isu-isu yang relevan dengan kehidupan mereka, seperti kesejahteraan, lapangan pekerjaan, pendidikan yang berkualitas, serta hak-hak sosial lainnya. Oleh karena itu, kandidat yang mampu memahami dan merespons kebutuhan serta aspirasi pemilih muda cenderung memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh dukungan mereka.
Namun, potensi besar pemilih muda ini juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih muda. Meskipun mereka terlibat dalam diskusi politik di media sosial, banyak dari mereka yang merasa tidak terwakili atau kurang tertarik untuk datang ke TPS. Faktor apatisme, kurangnya pemahaman tentang proses politik, serta ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin atau sistem politik yang ada sering menjadi hambatan utama dalam meningkatkan partisipasi mereka. Selain itu, pemilih muda seringkali dipengaruhi oleh informasi yang tidak akurat atau berita hoaks yang beredar di media sosial. Ini dapat mempengaruhi pilihan politik mereka secara negatif, mengarah pada keputusan yang kurang rasional atau terburu-buru. Oleh karena itu, para calon pemimpin yang memiliki strategi komunikasi yang jelas, jujur, dan berbasis data, memiliki kesempatan lebih dalam meyakinkan pemilih muda dengan cara yang positif dan informatif.
Terpilihnya Sosok Pemimpin Muda Non-Jawa
Pilkada 2024 di Lampung Timur menjadi momen penting yang menandai perubahan dalam dinamika politik daerah tersebut. Salah satu aspek menarik dari pemilihan ini adalah keberhasilan pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi dalam mematahkan mitos dominasi figur bupati dari suku Jawa. Sebelumnya, Lampung Timur dikenal dengan pola kepemimpinan yang didominasi oleh figur-figur asal suku Jawa, yang tercermin dalam sejarah pemilihan bupati sejak pelaksanaan pilkada langsung. Sejumlah bupati sebelumnya, seperti Satono (Pilkada 2005 dan 2010), Chusnunia Chalim (Pilkada 2015), dan Dawam Rahardjo (Pilkada 2020), mayoritas berasal dari suku Jawa.
(Gambar 2, Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Waki Bupati Terpilih Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024)
Kemenangan Ela dan Azwar menandakan perubahan signifikan dalam lanskap politik daerah, mencerminkan harapan masyarakat untuk menghadirkan kepemimpinan yang lebih beragam dan representatif. Kemenangan Ela, seorang putri daerah asal suku Sunda, bersama pasangannya Azwar Hadi, menandakan bahwa masyarakat Lampung Timur kini semakin terbuka dan menginginkan perubahan dalam kepemimpinan mereka. Keberhasilan pasangan ini bukan hanya berkaitan dengan latar belakang etnis, tetapi juga mencerminkan perubahan signifikan dalam preferensi pemilih, yang kini lebih mengutamakan kualitas kepemimpinan dan visi pembangunan yang lebih inklusif serta merata. Mengalahkan pasangan petahana, yang masih mempertahankan komposisi Jawa sebagai calon bupati, kemenangan Ela dan Azwar menjadi simbol upaya untuk menghapus mitos dominasi suku Jawa dan membuka peluang bagi keberagaman dalam kepemimpinan daerah.
Pilkada Serentak 2024 di Lampung Timur mencerminkan perubahan signifikan dalam preferensi pemilih dan strategi kampanye politik. Ela Siti Nuryamah, yang terpilih sebagai Bupati Lampung Timur, membawa latar belakang yang menarik. Sebelum menjabat sebagai bupati, Ela adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mewakili daerah pemilihan Lampung II, termasuk Kabupaten Lampung Timur. Dalam Pilkada 2024, Ela berpasangan dengan Azwar Hadi dan berhasil mengalahkan pasangan petahana, M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan. Pasangan Ela-Azwar memperoleh suara mayoritas, yang mencerminkan harapan masyarakat Lampung Timur akan perubahan dalam kepemimpinan daerah.
Pasangan calon Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi meraih kemenangan dengan perolehan suara sebesar 64,27%, mengungguli pasangan petahana M. Dawam Rahardjo dan Ketut Erawan yang hanya memperoleh 35,73%. Kemenangan ini tidak hanya mencerminkan pergeseran dukungan masyarakat, tetapi juga menunjukkan dorongan kuat untuk perubahan dalam kepemimpinan daerah. Fenomena ini sejalan dengan teori partisipasi politik yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi sebagai indikator kesehatan politik (Defretes dan Kleden 2023; Kelibay dkk. 2022).
Teori partisipasi politik menyoroti bahwa pemilu langsung memberikan mekanisme yang efektif untuk menggantikan kepemimpinan yang kurang memuaskan. Dalam konteks ini, mobilisasi pemilih yang dilakukan oleh pasangan Ela dan Azwar terbukti berhasil, terutama dalam menjangkau kelompok pemilih muda dan perempuan, yang menjadi kunci dalam menentukan hasil pemilihan. Dengan pendekatan inklusif, mereka menyoroti isu-isu lokal seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas basis dukungan, tetapi juga mempserlihatkan kemampuan mereka membaca aspirasi masyarakat (Marín, Goda, dan Pozos 2021; Silvester dkk. 2020).
Dari perspektif dinamika politik, kompetisi di Lampung Timur mencerminkan pentingnya persaingan sehat dalam meningkatkan partisipasi pemilih dan akuntabilitas pemerintah. Keberhasilan Ela dan Azwar dapat dianggap sebagai respons atas kinerja pemerintahan sebelumnya yang dinilai belum memuaskan. Pemilih cenderung memberikan suara kepada kandidat yang mereka yakini mampu memenuhi harapan mereka. Dalam konteks ini, hasil Pilkada menunjukkan dorongan masyarakat untuk mencari alternatif kepemimpinan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal (Cancela dan Geys 2016).
Namun, kemenangan ini membawa tantangan tersendiri. Pasangan Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi dihadapkan pada ekspektasi tinggi untuk merealisasikan janji-janji kampanye. Karakteristik pribadi kandidat, seperti kemampuan komunikasi dan keterampilan politik, memiliki pengaruh besar terhadap kepercayaan Masyarakat (Laustsen 2021. Keberlanjutan dukungan terhadap pasangan ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan menciptakan pemerintahan yang inklusif.
(Sumber : Buku Pilkada dan Kontestasi Lokal; Potret Dinamika Sosio-Politik Lampung Timur dalam Pilkada Serentak 2024)